Siapa yang menyangka, ternyata tanaman bambu memiliki banyak keutamaan termasuk dari sisi ekologis, misalnya, ketika bambu seperti halnya mangrove dan gambut, mampu memulihkan lahan kritis.
Bambu juga mampu menyimpan air, dimana satu rumpun bambu mampu menyimpan 5 ribu liter air per musim hujan. Air yang kemudian dilepaskan kembali ke tanah pada musim kemarau itu mampu menyerap karbondioksida. Bahkan satu hektare hutan bambu mampu menyerap dan menahan 50 ton karbon dioksida setiap tahunnya.
Bambu juga bisa tumbuh di lahan miring serta menstabilkan lahan rawan longsor. Dengan demikian, bambu menjadi tanaman yang tepat untuk upaya restorasi lahan kritis, perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS), mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta pencegahan bencana.
Dari sisi ekonomi, bambu dapat dibudidayakan sebagai tanaman pelestari secara berkelanjutan. Dengan metode Hutan Bambu Lestari (HBL) bambu dapat dipanen secara reguler tanpa mengurangi fungsi hutan bambu sebagai daerah tutupan hijau serta konservasi air.
Lebih dari itu, kemampuan bambu dalam menyimpan air menciptakan sebuah lingkungan kondusif bagi budidaya tanaman pangan dan produktif lainnya.
Bambu juga dapat diolah menjadi beraneka ragam produk, termasuk produk-produk yang selama ini telah akrab dengan tradisi masyarakat lokal di Indonesia.
“Bambu adalah tanaman ajaib. Dan bambu adalah kayu masa depan. Oleh karena itu, kami dari organisasi nirlaba, yakni Yayasan Bambu Lestari, dengan 30 tahun pengalaman dalam memanfaatkan bambu sebagai solusi ekologi dan solusi ekonomi,” kata Monica Tanuhandaru dari Yayasan Bambu Lestari (YBL).
Ia membagikan pengalamannya tentang bambu dalam diskusi panel Cerita Kriya bertajuk Membangun Ekosistem Hulu-Hilir Untuk Memastikan Bisnis UMKM yang Berkelanjutan, di Gedung Art Bali, Bali Collection, The Nusa Dua, beberapa waktu lalu.
Bekerja sama dengan masyarakat pedesaan, YBL pun memanfaatkan bambu untuk menangani isu-isu lingkungan utama seperti perubahan iklim dan lahan kritis.
“Dan pada saat yang sama, menciptakan perbaikan ekonomi bagi masyarakat desa, sembari memperjuangkan inklusi sosial dan kesetaraan gender. Intinya, kami bekerja untuk bambu rakyat,” kata Monica.
Terlebih lagi, di Indonesia, ada 350 lebih bambu endemik, dimana di dunia ada 1.500 bambu, sebanyak 167 jenis di antaranya berasal dari Indonesia. “Bahkan, di Papua, masih ada jenis bambu yang belum kita kenal,” kata Monica.
Tak pelak, dengan potensi besar seperti itu, langkah Yayasan Bambu Lestari untuk menggarap bambu, semakin melaju. Bahkan, secara global, telah diidentifikasi lebih dari 1500 produk berbasis bambu, dari produk bangunan dan furnitur, hingga tekstil dan makanan.
“Permintaan akan bambu terus meningkat. Pasar global untuk bambu dan produk-produk olahan bambu nilainya kini ditaksir telah melebihi 70 miliar dolar AS,” kata Monica.
Maka, tak usah heran, bila Monica menyebut YBL berproduksi dari hutan, pabrik, sampai ke kebutuhan manusia. “Saat ini, sudah digunakan dan terus dikembangkan dengan teknologi,” ujar dia.
Ia juga mengungkapkan bambu bisa jadi bahan baku industri, sebagai velg.
Mama Bambu
Merespons semakin berkembangnya potensi bambu kini, Yayasan Bambu Lestari memperluas cabangnya di lima provinsi. Tercatat ada 1,2 juta juta bambu yang sudah tertanam dan akan menambah 1 juta bibit dengan kelompok perempuan dengan istilah Mama Bambu.
Program Mama Bambu menghadirkan dampak ekonomi dan bertujuan merawat bumi, dengan memberikan akses pemanfaatan lahan perhutanan sosial. Dalam arti, menanam bambu sama dengan menanam air, bibit bambu akan ditanam di lahan kritis, hingga Mama Bambu yang menanam 2,5 juta bibit dalam waktu 4 bulan.
Mama Bambu diajarkan melihat sumber bibit, menanam, dan mengelola secara bestari. Rumah produksinya, bekerja sama dengan Du’Anyam, Bambu Boss, dan yang lainnya.
“Bekerja dengan kelompok perempuan atau Mama Bambu, membutuhkan usaha kelekatan yang tinggi. Sebab, mereka menanam bambu seperti merawat anaknya. Dinyanyikan dan disayang, jika tanaman bambu mati mereka sedih,” kata Monica.
Bagi Monica, alasan bekerja sama dengan Mama Bambu, agar mereka mendapatkan pencaharian, dan secara status sosial bisa lebih didengar orang lain di sekitarnya.
“Mama Bambu diharapkan dapat membangun koperasi bibit, setelah 5 bulan ditanam membangun kapasitas produksi kerajinan, dan seterusnya,” kata Monica.