Koperasi Rumput Laut Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Kospermindo) sukses mengekspor rumput laut sebanyak 4 kontainer ke Xiamen, China, melalui pelabuhan Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan nilai mencapai Rp500 juta.
Secara simbolis, prosesi pengiriman ekspor rumput laut tersebut diresmikan oleh Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki.
MenKopUKM mengatakan, potensi rumput laut Indonesia untuk ekspor dan keperluan dalam negeri sangatlah besar, baik sebagai substitusi impor gandum untuk ketahanan nasional, maupun sebagai bagian dari hilirisasi komoditas lokal. Hal tersebut sejalan dengan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait dengan industrialisasi berbasis SDA (Sumber Daya Alam) lokal.
“Rumput laut bisa menyubstitusi sekitar 30 persen kebutuhan tepung terigu sebagai ketahanan pangan. Olahan rumput laut lebih sehat sebagai pengganti tepung terigu untuk pembuatan mie, kue, maupun pupuk bio plastic, kecantikan, hingga makanan ternak. Bisa dikatakan penggunaannya sangat luas,” ucap Menteri Teten usai melakukan gunting pita sebagai simbolis peresmian ekspor rumput laut ke China, di Makassar, Sulsel, Sabtu (4/11/2023).
MenKopUKM meyakinkan, kemampuan olahan rumput laut dalam menyubstitusi tepung terigu impor memiliki pasokan bahan baku yang cukup. Dari segi harga, produk tersebut juga sangat kompetitif dibanding tepung terigu impor.
“Selama ini kita impor tepung terigu dan gandum, kalau subtitusi olahan rumput laut bisa terlaksana secara menyeluruh, kita mampu menjaga ketahanan pangan sekaligus menghemat devisa negara,” kata Teten.
Dalam memuluskan hal tersebut, maka dibutuhkan kebijakan afirmasi dari Pemerintah, yang dalam hal ini perlu melibatkan berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) untuk bersama-sama menentukan arah kebijakan tersebut.
“Saya sudah bicarakan dan usulkan supaya ada kebijakan afirmasi, yaitu kewajiban menggunakan rumput laut pada produk berbasis terigu. Nanti akan dibahas lagi bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) sendiri,” katanya.
Ditegaskan MenKopUKM, kebijakan tersebut sudah banyak dilakukan di berbagai negara, termasuk Jepang salah satunya. Sehingga diharapkan kebijakan afirmasi mewajibkan rumput laut sebagai bahan baku olahan tepung terigu dan pengganti gandum bisa dipasok dari dalam negeri sendiri.
“Afirmasi kebijakan perlu didorong, karena seluruh dunia juga sudah melakukan itu,” ucap Teten.
Dengan hilirisasi atau industrialisasi, kata Menteri Teten, produk rumput laut yang selama ini diekspor masih dalam bentuk material mentah, bisa diolah menjadi tepung dan sebagian barang setengah jadi.
“Dalam hal ini, koperasi berperan menjadi agregator sekaligus pengolah rumput laut. Bisa melalui kerja sama dengan perusahaan besar untuk teknis mesin dan pengolahan,” katanya.
Kebijakan Afirmasi
Lebih lanjut Ketua Kospermindo Arman Arfah menjelaskan, koperasi bimbingannya melakukan ekspor tiap bulannya dengan mengirim lebih dari 7.000 ton ke China. Para petani rumput laut di seluruh Indonesia, telah mampu mencukupi kebutuhan ekspor luar negeri sejak tahun 2004 atau selama kurang lebih 20 tahun, sehingga jika ada kewajiban memenuhi kebutuhan dalam negeri pun tidak menjadi masalah.
“Riset terkait pengolahan rumput laut kita sudah ada, tinggal arah kebijakan yang dibutuhkan dan kesempatan yang sangat besar untuk dimanfaatkan. Kami berharap KemenKopUKM bisa mendorong itu melalui kebijakan afirmasi subtitusi impor untuk mencukupi pasar luar dan dalam negeri,” katanya.
Arman melanjutkan, laut Indonesia menjadi laut terpanjang kedua dunia yang potensinya dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan masyarakat di dalam negeri. Arman pun menjamin, jika nanti kebijakan tersebut diterapkan, tak hanya kebutuhan luar negeri yang tercukupi, dalam negeri pun akan ikut tercukupi.
“Kita yang membudidayakan, mengolah, dan mengkonsumsinya sendiri. Saya bisa pastikan, kualitas rumput laut kita jauh lebih bagus dari yang diproduksi di luar negeri. China sudah lama pakai rumput laut dari Indonesia dan diolah di sana, Jepang pun sama, bahan baku agar-agar mereka merupakan pasokan rumput laut dari Indonesia,” katanya.
Arman mengungkapkan, di Indonesia terdapat 500 jenis rumput laut yang memiliki potensi ekonomi. Namun yang tergarap baru empat jenis, yaitu teleslaria, potonik, pinosum, dan lawi lae buleva. “Yang paling banyak dikirim ke luar negeri adalah jenis potonik, teleslaria dan spinosum. Kalau tiga jenis ini saja bisa dikelola dengan baik, kita mampu produksi sebanyak 350.000 ton, dan sebesar 200.000 tonnya untuk ekspor. Ini membangun ketahanan pangan dalam negeri,” kata Arman.
Ia menegaskan, dalam proses hilirisasi, koperasi sangat membutuhkan dukungan dan dorongan dari Pemerintah. “Kami siap terlibat dalam hilirisasi, maka kita butuh dukungan dari KemenKopUKM untuk proses hilirisasi tersebut,” ujarnya.
Kospermindo sendiri mewadahi 2.000 anggota yang mayoritasnya adalah petani rumput laut. Selain membawahi Kospermindo, Arman juga merupakan Ketua Asosiasi Petani Rumput Laut Indonesia yang memiliki anggota sebanyak 10.000 orang di seluruh Indonesia.
Sementara itu, Hongbo selaku Head Quality Control perwakilan dari perusahaan China, Green Fresh mengatakan, dalam mengolah berbagai produk mulai dari es krim, sosis, puding, kue, roti dan mie, pihaknya mendapat pasokan bahan baku dari rumput laut Indonesia, tepatnya Sulsel. Green Fresh sendiri merupakan pabrik terbesar dunia dari Xiamen, China.
“Kami mendapat pasokan rumput laut dari Sulsel sebanyak 7.000 ton per bulan, dengan kualitas rumput laut yang sangat bagus. Saat ini, kami memiliki satu pabrik pengolahan di Situbondo, Jawa Timur, untuk pengolahan agar-agar dengan kapasitas 1.000 ton yang juga bekerja sama dengan koperasi,” katanya.
Diakui Hongbo, dalam mengolah produk dari bahan baku rumput laut, memang dibutuhkan investasi yang tak murah. Mulai dari teknologi, hingga harga mesin pengolahan yang bisa mencapai sekitar 2 miliar yuan atau setara Rp100 miliar.