Desa Gumanano, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, memiliki tradisi unik leluhur yang diwariskan secara turun-temurun sejak dahulu kala.
Di sana, di setiap kolong rumah panggung dari tiap kepala keluarga, hampir pasti ditemui para perempuan desa yang sedang asyik menenun kain yang kelak saat sempurna akan dinamai tenun kamohu.
Usut punya usut, kegiatan menenun ini rupanya punya narasi yang kuat. Dalam sejarahnya dikisahkan, seorang anak gadis di tiap keluarga tidak boleh turun tanah atau keluar rumah jika tidak pandai menenun. Dan keluar rumah dalam konteks ini ialah menikah. Rupanya tersemat sebuah pesan yang mendalam di balik tradisi ini.
Erly, perempuan asli daerah tersebut menjelaskan, kepandaian para perempuan untuk menenun diyakini akan berimbas kepada rumah tangga yang mereka bina nantinya.
“Karena dengan menenun, mereka dapat merajut kehidupannya. Sejarahnya seperti itu. Maka ini dilakukan di bawah rumah,” ucapnya saat ditemui di Desa Gumanano, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah beberapa waktu lalu.
Kamohu atau tenunan merupakan kain yang dihasilkan oleh para penenun di kolong rumah itu. Kamohu umumnya dijadikan sarung oleh masyarakat sekitar yang sebagian besar adalah Muslim.
Namun, Erly bercerita para perempuan muda juga biasanya mengasah kreativitas mereka dan mengubah kamohu menjadi tas selempang, syal, dan banyak kerajinan tangan lainnya.
Kini di tengah masifnya digitalisasi yang berimbas terhadap modernisasi rupanya tak membuat Erly takut akan punahnya tradisi menenun di desa mereka. Sebab, dia meyakini tradisi ini akan tetap lestari pada setiap generasi baru yang lahir di desa mereka.
“Tradisi ini akan selalu ada karena ibu di tiap keluarga akan selalu menurunkan ini ke anak cucu mereka. Semua pasti bisa. Di saat mereka remaja, mereka harus diajarkan ini. Makanya ini menjadi keharusan di desa kami. Walaupun para perempuan ini punya pendidikan yang tinggi, mereka akan tetap melestarikan tradisi ini,” kata Erly.
Layaknya melukis di atas kain, istilah tersebut yang diucapkan Erly saat menjelaskan bahwa ketika para penenun ini membuat kain yang dipesan oleh pelanggan, pola kain yang diminta akan tergambar di pikiran para penenun dan langsung mereka tuangkan.
Cukup merogoh kocek Rp200 ribu sampai dengan Rp300 ribu, para pembeli akan mendapatkan kain yang dibuat oleh para perempuan hebat yang telah terpatri untuk meneruskan tradisi di masa depan.