Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menekankan keberadaan Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi (LPK) sangat penting dan mendesak untuk membangun industri simpan pinjam koperasi yang sehat dan kuat di masyarakat.
“Kehadiran Lembaga Pengawas nantinya akan meningkatkan efektivitas pengawasan usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia,” kata Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi pada acara Serap Aspirasi RUU Perkoperasian khususnya terkait Pembentukan Lembaga Pengawas Usaha Simpan Pinjam Koperasi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Selasa (12/12/2023). Kegiatan ini diselenggarakan bekerjasama dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM.
Zabadi menegaskan, kehadiran LPK untuk memperkokoh sistem pengawasan dengan mengonsolidasi penyelenggaraan pengawasan pada satu lembaga khusus. Tujuannya untuk mengurangi arbitrase regulasi sebagaimana yang terjadi saat ini. “Arbitrase regulasi dapat dihilangkan atau diminimalkan mengacu pada konstitusi bahwa sektor keuangan merupakan kewenangan Pemerintah Pusat,” katanya.
Jumlah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) di Indonesia, menurut Zabadi, ada kecenderungan berkurang dari sisi kuantitas dari tahun ke tahun. Tercatat jumlah KSP saat ini sebanyak 18.157 unit. “Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah menitikberatkan pada peningkatan kualitas. Peningkatan kualitas koperasi dilakukan dengan berbagai strategi kebijakan, di antaranya mendorong restrukturisasi serta modernisasi koperasi,” ucapnya.
Di negara maju, pengawasan usaha simpan pinjam koperasi dilakukan oleh Bank Sentral (Eropa) atau Otoritas Jasa Keuangan. Atau oleh lembaga pengawas khusus seperti di Amerika Serikat (AS), yang dilakukan oleh NCUA (National Credit Union Administration) yang berdiri sejak 1934.
“Model NCUA dianggap sebagai pilihan yang baik, karena membuka peluang dan meningkatkan partisipasi Gerakan Koperasi atau industri dalam pengawasan. Pola seperti itu yang kita ingin adopsi di masa mendatang,” kata Zabadi.
Usaha simpan pinjam dipahami sebagai usaha berisiko tinggi, sehingga diperlukan pengawasan dari Pemerintah untuk menjamin akuntabilitas, transparansi, prudensial dan kepatuhan. “Pengawasan eksternal oleh Pemerintah ini tujuannya untuk melindungi kepentingan anggota dari berbagai potensi penyelewengan tata kelola, fraud dan sebagainya. Negara hadir untuk melindungi kepentingan anggota,” ucapnya.
Hal itu mengapa menurut Zabadi, keberadaan lembaga pengawas pada usaha simpan pinjam koperasi dinilai sangat penting dan mendesak, dengan berbagai pertimbangan. Pertama, dalam Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional.
Kedua, usaha simpan pinjam koperasi merupakan usaha yang berisiko tinggi. Di sisi lain, sangat diperlukan untuk membantu akses keuangan anggota. Hasil Susenas 2021 menunjukkan 4,25 persen rumah tangga Indonesia memperoleh akses pembiayaan dari koperasi. Sebagian lain mengandalkan bank, sebesar 4,95 persen.
Ketiga, anggota koperasi banyak dari akar rumput dengan kapasitas literasi terbatas, sehingga negara perlu hadir untuk lindungi kepentingan anggota. “Yang keempat, kami memandang, isu koperasi gagal bayar menjadi perhatian masyarakat, dan merusak citra koperasi,” ujarnya.
Kemudian pertimbangan yang kelima kata Zabadi, terjadi arbitrase regulasi pengawasan usaha simpan pinjam yang dilakukan oleh lebih dari 500 dinas di Indonesia. Di mana pelaksanaannya bergantung pada sumber daya, kewenangan, SDM, sarana dan anggaran yang cenderung terbatas dan tak seragam.
“Berdasarkan kondisi itu, maka kehadiran lembaga pengawas usaha simpan pinjam koperasi adalah keharusan,” ucapnya.