“Kita harus membangun pabrik-pabrik skala kecil dan menengah berbasis bahan baku dan keunggulan domestik yang dimiliki,” kata MenKopUKM, Teten Masduki, saat Orasi Ilmiah pada Sidang Terbuka Senat Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) dalam agenda Milad ke-21 di Kota Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (13/6).
Tujuannya adalah untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas. Karena menurut Menteri Teten, saat ini tidak lagi mungkin untuk mengundang manufaktur dari luar yang padat karya, di mana keunggulan komparatif antar negara sudah relatif hampir sama. “Dan ini juga sudah menjadi sunset industry,” kata MenKopUKM.
Contoh konkret, kata Menteri Teten, Indonesia sebagai penghasil sawit terbesar di dunia tapi ekspornya masih sebatas CPO dan minyak goreng. Sementara perusahaan besar seperti Unilever bisa memanfaatkan sawit ini menjadi bahan baku bagi puluhan produknya.
Menteri Teten merujuk program industri parfum di Prancis, dimana 95 persen bahan bakunya berasal dari Indonedia. Begitu juga dengan industri kecantikan Korsel. “Yang paling banyak dicari anak-anak muda seluruh dunia adalah skincare. Salah satu produsen terbesar skincare dunia adalah Korsel,” kata MenKopUKM.
Di Korsel, kata Menteri Teten, pabrik cenderung kecil dan semua bahan bakunya (36 jenis) ada di Indonesia. Misalnya, ekstrak lidah buaya, ekstrak buah alpukat, dan ekstrak-ekstrak herbal lainnya. “Kita kaya. Tapi, kenapa tidak kita olah sendiri sumber daya alam kita ini, minimal menjadi bahan setengah jadi sehingga bisa mensuplai industri nasional dan global,” ucap Menteri Teten.
Untuk itu, kata Menteri Teten, KemenKopUKM mempunyai program strategis membangun banyak Factory Sharing dengan biaya Rp10 miliar hingga Rp20 miliar untuk mengolah aneka sumber daya yang dimiliki Indonesia. “Kita di ASEAN sangat kuat di sektor agriculture dan aquaculture. Kita kaya udang, ikan, dan lobster. Fokus saja kesitu,” kata MenKopUKM.
Dicontohkan lagi, pendapatan utama Norwegia kini bukan lagi dari sektor migas, melainkan dari budidaya ikan salmon. Mereka melakukan riset ikan salmon dengan sangat serius. Mereka studi pakan, hingga jaring terapung yang cocok dengan wilayah laut Norwegia. Dan itu sudah ditiru Vietnam untuk mengembangkan ikan baramundi (kakap putih).
“Sukabumi kaya akan ikan kakap putih. Kenapa Vietnam kembangkan itu, karena baramundi bakal menjadi pengganti salmon di tengah iklim global warming,” jelas Menteri Teten.
Ekonomi Digital
Meski harus memiliki ekonomi baru, namun Menteri Teten tidak melihat itu di sektor ekonomi digital (e-commerce). Dicontohkan di China, ekonomi digital sudah menjadi ekonomi baru mengalahkan Amerika dengan kontribusi 41% terhadap GDP. Tak heran bila ekonomi digital mereka banyak masuk ke Indonesia.
Bahkan, MenKopUKM mewanti-wanti adanya platform e-commerce baru bernama Temu, yang terhubung langsung dari ratusan pabrik ke konsumen. “Bakal banyak lapangan kerja di sektor distribusi akan hilang. Dan pasti produknya sangat murah, kita tidak mungkin bisa bersaing,” tegas Menteri Teten.
Menteri Teten mengaku, pihaknya sedang melirik anak-anak muda dari berbagai kampus, untuk dikembangkan inkubator-inkubator bisnis dengan menyiapkan anak-anak muda yang mempunyai ide agar dierami, ditetaskan, dan dibesarkan. “Dengan begitu, kita bisa menciptakan enterpreneur baru,” imbuh Menteri Teten.
Di Indonesia, terdapat sekitar 2600 startup, yang juga menjadi negara dengan jumlah startup terbesar keenam di dunia. “Dulu tidak terarah, semua berkerumun ke e-commerce, tapi tidak menggunakan AI dan IoT di sektor produksi. Contoh Korea, sudah menggunakan IoT (mesin otomatis yang terkoneksi ke semua proses industri) dengan tenaga kerja minimalis,” ujar MenkopUKM.
Menteri Teten mengatakan, para startup ini akan diinkubasi dan diarahkan ke sektor produksi dengan aplikasi digital. “Kami juga melakukan business matching untuk mereka. Kami perkuat di sektor agriculture dan aquaculture,” kata MenkopUKM.
Menteri Teten berharap, di kampus harus sudah fokus mencetak sarjana yang mampu mengolah sumber daya alam, hasil perkebunan dan pertanian, untuk kemudian menjadi industri yang sangat potensial.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor UMMI Dr Reny Sukmawani menjelaskan bahwa UMMI telah mencapai usia yang matang dan terus berkomitmen untuk memberikan kontribusi terbaik bagi masyarakat Sukabumi. “Kami bangga dengan pencapaian yang telah diraih dan kami terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian di kampus ini,” kata Reny.
Dengan dukungan dari berbagai pihak, UMMI optimistis dapat terus berinovasi dan berkontribusi positif bagi masyarakat Sukabumi, serta menjadi kampus yang unggul dan bereputasi.
“Kami juga sudah meluncurkan program Satu Desa Satu Sarjana, salah satu program pemberdayaan masyarakat dalam UKM dan pendampingan koperasi,” ujar Reny.