Sinergi ini dilakukan dalam rangka memetakan tata kelola lontar sebagai komoditas dan sumber ekonomi rakyat yang strategis di Provinsi NTT. Penyusunan peta jalan dilakukan dengan mengadopsi masukan dan mempertemukan stakeholder dari berbagai bidang.
Direktur Utama Smesco Indonesia, Wientor Rah Mada, dalam keterangan resminya di Jakarta (24/6) mengatakan, lontar merupakan simbol kekuatan ekonomi terbarukan yang berkelanjutan di Nusa Tenggara Timur.
Terdapat lebih dari 15 produk turunan lontar yang bernilai ekonomi, dimana 27 persen dari total nilai ekonomi tersebut dihasilkan oleh perempuan di Nusa Tenggara Timur.
“Meningkatnya permintaan pasar baik lokal, nasional, dan global akan produk turunan lontar menuntut upaya serius secara multipihak guna menjaga keberlanjutan produksinya di NTT. Selain itu, pengembangan sektor ini dapat menjadi solusi strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Nusa Tenggara Timur, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi,” ujar Wientor Rah Mada.
Berdasarkan penelitian terakhir, data persebaran pohon lontar di Nusa Tenggara Timur berkisar 5.000.000 pohon yang tumbuh alami di 22 kabupaten, dimana 80 persen di antaranya adalah pohon yang berusia lebih dari 10 tahun atau sudah memiliki nilai tambah ekonomi.
Produk utama lontar adalah nira yang didapat dari sadapan bunga, yang bisa diminum langsung atau diolah menjadi gula. Hasil produksi nira lontar tercatat setiap petani menyadap rata-rata 25 pohon/hari selama masa penyadapan. Hasil rata-rata produksi nira lontar 3,5 liter/pohon/hari, maka demikian jumlah nira yang dihasilkan setiap hari sekitar 87,5 liter yang dapat dijual langsung untuk kebutuhan konsumsi atau kebutuhan industri bioetanol.
Daun lontar digunakan untuk bahan kerajinan, misalnya keranjang, sikat, ember, topi, dan kesehatan. Sementara batangnya, merupakan kayu yang keras dan kuat, baik untuk konstruksi bangunan dan jembatan.
Berdasarkan banyaknya produk lontar yang mempunyai keuntungan kompetitif, lontar dinilai sangat berguna oleh penduduk setempat sebagai peluang untuk meningkatkan pendapatan.
“Untuk mewujudkan ekosistem ekonomi kerakyatan di NTT tersebut, Smesco Indonesia akan menyelenggarakan Forum Group Discussion Outlook Ekonomi Lontar NTT 2024 hasil kolaborasi strategis antara Kementerian Koperasi dan UMKM, SMESCO Indonesia, Du Anyam, Pemerintah Provinsi NTT, Dekranasda, Institusi Keuangan BUMN dan swasta, akademisi, pelaku sektor industi serta mitra logistik dalam mendukung pemenuhan pasar ekspor produk turunan lontar,” ujar Wientor Rah Mada.
Hal ini sejalan dengan arahan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak agar mengandalkan model bisnis agregasi dalam mengembangkan sektor kriya dalam mengakselerasi ekspor produk-produk dimaksud.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyampaikan model bisnis agregasi bukan hanya dapat menciptakan ekonomi baru, namun juga untuk mengembangkan dan menjaga warisan budaya Indonesia.
Lebih lanjut Wientor menambahkan, FGD Outlook Ekonomi Lontar 2024 ini akan diselenggarakan pada 27 Juni 2024 di Kupang.
Diskusi dalam pertemuan tersebut untuk merumuskan tindakan aplikatif terkait skema kemitraan solutif pengadaan bahan baku lontar, program inkubasi UMKM bahan baku lontar, riset dan teknologi, kemitraan pembiayaan dan logistik, serta pemutakhiran database kegiatan ekonomi produktif UMKM yang memanfaatkan komoditas lontar sebagai bahan baku.
Sementara itu Co Founder, Chief of Community & Partnership Officer Du Anyam Hanna Keraf mengatakan, potensi pasar ekspor sangat besar terutama untuk produk-produk yang terbuat dari serat alam yang mayoritas diproduksi oleh negara-negara di Asia. Di tahun 2025, pendapatan komunitas dampingan di NTT diperkirakan meningkat 2 kali lipat dari pendapatan periode 2023-2024.
“Besaran (potensi) tersebut untuk perempuan penganyam, penyedia bahan baku, dan vendor transportasi. Namun salah satu kendala terbesar berkaitan bahan baku, data dan riset pengembangan/budidaya lontar, rantai pasok, dan ekosistem produksi yang belum teroptimalisasi. Inilah yang ingin kita tackle solusinya di FGD ini,” ujar Hanna Keraf.
Diharapkan pelaksanaan rapat lintas sektor dan FGD akan menjadi jembatan komunikasi beberapa pihak termasuk pemerintah dari desa, kecamatan hingga kabupaten, BI NTT, Kadin NTT, SMESCO Indonesia, Koalisi Ekonomi Membumi, serta offtaker dalam hal ini Du Anyam dan komunitas yang mereka dampingi.