Oleh

Dr Surya Wiranto SH MH
Pengurus DPP Kongres Advokat Indonesia

Dorongan Presiden Prabowo dan Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra untuk segera membahas RUU Perampasan Aset di DPR adalah langkah yang tepat secara politik dan simbolis, namun harus diwaspadai dengan sangat serius dari sudut pandang hukum dan hak asasi manusia.

Di satu sisi, semangat dan urgensi yang disampaikan pemerintah patut diapresiasi. RUU ini berpotensi menjadi game-changer dalam memerangi korupsi di Indonesia. Selama ini, para koruptor seringkali masih dapat menikmati harta kekayaan hasil korupsinya, atau setidaknya memperlambat proses peradilan dengan berbagai upaya hukum, sementara aset mereka sulit disita sebelum putusan inkrah. RUU Perampasan Aset yang dimaksudkan dapat bekerja secara in rem (terhadap benda/aset) dan bukan in personam (terhadap orang) akan memutus mata rantai ini. Dengan dapat disitanya aset tanpa harus menunggu vonis terhadap pelakunya, efek jera dan tujuan “memiskinkan koruptor” seperti yang ditekankan Prabowo akan lebih mudah tercapai. Ini juga menjawab tuntutan publik, termasuk dalam aksi 17+8, yang muak dengan lambatnya pemberantasan korupsi.

Namun, di balik potensi manfaatnya yang besar, RUU ini ibarat pedang bermata dua. Jika tidak dirumuskan dengan sangat hati-hati, ia bisa berbalik melukai prinsip-prinsip negara hukum yang kita junjung. Beberapa poin kritis yang harus menjadi perhatian utama dalam pembahasan di DPR adalah:

1.Prinsip Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence): Ini adalah tantangan terbesar. Bagaimana mekanisme perampasan aset tanpa melalui proses pidana terlebih dahulu tidak melanggar hak konstitusional seseorang untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya? RUU harus memiliki safeguards (pengaman) yang ketat, seperti pembuktian terbalik yang terbatas, di mana beban pembuktian bahwa aset tersebut didapat secara sah beralih kepada pemiliknya, tetapi hanya setelah negara membuktikan adanya indikasi kuat bahwa aset tersebut terkait tindak pidana.

2.Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan: Dengan kewenangan perampasan aset yang besar, lembaga penegak hukum menjadi sangat powerful. Tanpa checks and balances yang memadai, RUU ini berpotensi disalahgunakan untuk membungkus lawan politik, menjatuhkan pesaing bisnis, atau bahkan menargetkan kelompok minoritas. Pengawasan oleh peradilan yang independen mutlak diperlukan di setiap tahapannya.

3.Kepastian Hukum dan Proses yang Adil: Rancangan undang-undang harus sangat detail dan jelas dalam mengatur prosedur pengajuan, pembuktian, banding, dan pengembalian aset jika ternyata pemiliknya dinyatakan tidak bersalah. Proses ini harus transparan dan memberikan akses keadilan yang penuh bagi pihak yang merasa dirugikan.

Oleh karena itu, pernyataan Menko Yusril bahwa pemerintah siap membahas rancangan era Jokowi perlu ditanggapi dengan kritis. DPR dan pemerintah tidak boleh terburu-buru hanya untuk memenuhi agenda politik. Mereka harus melakukan pembahasan yang mendalam, inklusif (melibatkan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil), dan benar-benar memastikan bahwa setiap pasal telah mempertimbangkan keseimbangan antara efektivitas pemberantasan korupsi dan perlindungan hak-hak dasar warga negara.

Kesimpulannya, RUU Perampasan Aset adalah sebuah kebutuhan. Namun, lebih baik menghabiskan waktu lebih lama untuk menghasilkan undang-undang yang kuat, adil, dan konstitusional, daripada tergesa-gesa mengesahkan sebuah produk hukum yang justru nantinya akan menimbulkan masalah hukum baru dan dicemooh sebagai alat kekuasaan. Momentum politik yang diciptakan Presiden Prabowo harus dimanfaatkan DPR bukan untuk sekadar mengesahkan, tetapi untuk menyempurnakan RUU ini menjadi senjata yang tepat sasaran, tajam, namun tetap menghormati hukum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *