Masyarakat Indonesia pada umumnya tidak terlalu memperhatikan Label Tanda Hemat Energi (LTHE) saat membeli Air Conditioner (AC) split. Mereka cenderung membeli AC split dengan mempertimbangkan harga yang terjangkau sesuai dengan keuangan mereka dan daya listrik rendah. Selain itu, mereka juga tertarik dengan promosi yang gencar dilakukan oleh penjual.
“Ini tantangannya, apalagi bila berhadapan dengan ibu-ibu. Mereka cenderung melihat harganya, tanpa melihat label tanda hemat energi (LTHE, red) Sama-sama AC yang low watt, tetapi mereka pilih AC yang harganya lebih murah,” kata Direktur Konservasi Energi Ditjen Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) Gigih Udi Atmo saat menjadi narasumber dalam diskusi bertemakan ‘Memperluas Sosialisasi Tanda Label Hemat Energi’.
Focus Group Discussion yang digelar oleh Indopos.co.id pada Jumat (23/6/2023) di H Tower itu menghadirkan para pembicara: Dadan Kusdiana (Dirjen EBTKE) atau yang mewakili, Herlin Herlianika (President ASHRAE), Syarif Hidayatullah (Direktur Utama Indopos.co.id), Sri Wahyuni (Pengurus Harian YLKI), Daniel Suhardiman (Sekretaris Jenderal Gabell) serta dinoderatori oleh Nelly Marinda S.
Menurut Gigih, hal yang harus diperhatikan pada saat membeli AC split adalah label tanda hemat energi. Ia menambahkan, teknologi semakin maju dan semakin meningkat efisiennya. Semakin tinggi bintang yang tertera di label, semakin hemat energi. Namun harga jualnya mahal.
“Sama-sama low watt, tetapi perhatikan label tanda hemat energinya. Kalau yang tertera dalam label itu bintang lima, maka semakin hemat energi.
“Memang harganya mahal, tetapi biaya tagihan listrik tiap bulannya lebih murah dibanding dengan AC low watt bintang satu atau dua,” ungkap Gigih.
Lanjut Gigih, Ditjen EBTKE Kemen ESDM gencar melakukan sosialisasi label hemat energi. Dalam berbagai cara dan pelibatan sejumlah pihak seperti asosiasi, praktisi, produsen sampai sosialisasi langsung ke ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga).
Ini agar masyarakat cermat memilih produk. Sosialisasi juga dilakukan lewat media massa, televisi, dan sosial media (sosmed).
Saat ini, lanjut dia, Ditjen EBTKE Kemen ESDM sudah mulai melakukan kerja sama juga dengan marketplace dalam memperluas sosialisasi label hemat energi.
Sekadar diketahui, pada Januari 2015 Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan peraturan untuk produsen AC. Peraturan tersebut bertujuan untuk seluruh produsen pembuat AC yang masuk ke Indonesia lebih meningkatkan efisiensi energi listrik agar pengguna menikmati AC hemat listrik.
Peraturan tersebut mulai diberlakukan pada Agustus 2016. Ini hanya berlaku untuk AC perumahan dengan type single split wall mounted dan dengan EER minimum (Energy Efficiency Ratio) sebesar 8,53% (inverter) dan tipe non inventer.
Pada 1 Agustus 2016, pemerintah mengeluarkan regulasi SKEM (Standar Kinerja Energi Minimum) berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 7 Tahun 2015 tentang Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum dan Pencantuman Label Tanda Hemat Energi untuk Piranti Pengkondisi Udara (AC). Regulasi itu ditandai dengan label AC hemat listrik, memiliki tanda empat bintang, dan disempurnakan kembali pada 2021, menjadi bintang lima. Regulasi itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 33/2023 tentang Konservasi Energi. Ini PP terbaru yang belum lama dikeluarkan pemerintah.
Label AC hemat energi ini merupakan suatu upaya pemerintah dalam mengurangi emisi global. Label AC hemat energi ini hanya terdapat pada produk yang telah lolos uji berdasarkan ketentuan dari pemerintah.
Ia menambahkan, label hemat energi hal yang wajib dibubuhkan oleh produsen untuk membendung produk-produk buangan dari negara lain masuk ke Indonesia.
Narasumber lainnya, Presiden American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers (Ashrae) Indonesia Chapter, Herlin Herlianika mengakui makin panasnya udara akhir-akhir ini membuat banyak orang memutuskan memasang AC split di rumah maupun kantor.
“Namun apakah keputusan masyarakat luas saat membeli AC sudah juga memahami konsekuensi biaya listriknya? Pastinya sudah, tapi belum tentu benar,” ujar Herlina.
Dari hasil survei yang dilakukan Ashrae Indonesia Chapter menunjukkan hanya lima persen masyarakat Indonesia pengguna AC split. Dan dari jumlah tersebut, hanya 6,5 persen yang mengetahui label tanda hemat energi.
“Ashrae terpanggil untuk mengkampanyekan ini. Buat apa regulasi dibuat sejak 2015, tapi impact-nya tidak ada,” ujar Herlin.
Ia berharap label hemat energi ini bisa dikenal dan dipahami seluruh masyatakat Indonesia.
Direktur Utama (Dirut) PT Indonesia Digital Pos yang menaungi Indopos.co.id dan Indoposco Syarif Hidayatullah mendorong dukungan insan media atas kampanye kesadaran isu lingkungan. Ini mengingat dampak pemberitaan media massa atas isu lingkungan sangat signifikan.
“Butuh peningkatan kesadaran jurnalis dan pemilik, untuk lebih mengedepankan isu lingkungan,” tandasnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Perusahaan Industri Elektronik dan Alat-alat Listrik Rumah Tangga Indonesia (Gabel) Daniel Suhardiman menambahkan, seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga bahan baku produk elektronik sudah naik. Saat ini para pelaku pasar masih menghitung dampak kenaikan harga jual.
Sebelumnya, akibat kenaikan biaya pengapalan (freight rate) saja membuat harga elektronik secara umum naik sekitar dua persen sampai lima persen.
“Dampak kemungkinan akan dirasakan apabila rupiah dalam waktu dekat masih melemah, para pelaku pasar terpaksa menaikkan harga jual. Bagi industri dalam negeri, ini sangat sulit,” jelasnya.
Selain pelemahan kurs rupiah, industri elektronik juga masih merasakan kendala kelangkaan peti kemas dan biaya kapal yang belum kembali ke kondisi pra-krisis.
Kendati demikian, Daniel mengatakan, suplai bahan baku masih cukup normal. Namun, untuk chip masih terkendala dan perlu booking pembelian lebih panjang dari kondisi normal.
“Secara umum, kondisi stok bahan baku masih relatif aman, meskipun perlu follow up ketat terkait jadwal pengiriman,” ucapnya.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sri Wahyuni mengatakan, guna mewujudkan ‘green energy transision’ diperlukan regulasi dan kebijakan yang fair. Seperti tarif yang terjangkau bagi konsumen, keandalan pelayanan yang terjaga, dan menjaga keberlangsungan operator energi nasional.
“Memang upaya mewujudkan kebijakan green energy, harus melalui transisi dengan menggunakan energi bersih, sampai benar benar terwujud energi baru terbarukan di berbagai sektor baik di sektor migas, dan atau sektor ketenagalistrikan,” paparnya.
Kebijakan sektor transportasi pun, lanjut Sri Wahyuni, harus sejalan dengan kebijakan energi.
“Penggunaan clean energy dan green energy adalah femomena yang tak terelakkan, dalam rangka memerangi perubahan iklim dan krisis iklim yang makin mengkhawatirkan,” pungkasnya.
“Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam hal ini, dan patut diberikan akses kebijakan dan regulasi yang ‘win win solution’,” sambungnya.
Christine Egan, CEO CLASP dalam bahasa Inggris mengatakan, CLASP Indonesia sudah menandatangani kerja sama dengan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM pada Jumat (23/6/2023).
CLASP adalah organisasi nirlaba internasional yang menyediakan dukungan teknis dan kebijakan kepada pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia dan bekerja untuk mengimplementasikan standar efisiensi energi dan label (S&L) untuk peralatan, pencahayaan, dan peralatan. Organisasi ini memiliki keahlian khusus dalam menerbitkan studi dan analisis yang relevan bagi praktisi S&L.
Misi CLASP, yakni meningkatkan kinerja energi dan lingkungan dari peralatan yang digunakan sehari-hari, mempercepat peralihan ke dunia yang lebih berkelanjutan. Salah satu kegiatannya mendukung program Pemerintah RI dalam sosialisasi LTHE.
Sementara itu, dalam acara FGD tersebut disponsori oleh SHARP. (*)