Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) terus berupaya meningkatkan pembiayaan inklusif UKM untuk mengurangi gap pembiayaan UMKM.
Asisten Deputi Bidang Pembiayaan dan Investasi UKM Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Temmy Satya Permana pada Forum FGD Kebijakan dan Strategi Sistem Keuangan Inklusif untuk UKM di Bogor, beberapa waktu lalu, mengatakan saat ini KemenKopUKM bersama stakeholder terkait akan membuat strategi, untuk mendukung inklusi keuangan di Indonesia serta meningkatkan utilitasnya yang ditandai dengan semakin luasnya akses pembiayaan UMKM yang diharapkan dapat mengurangi financial gap UMKM.
Temmy menjelaskan penguatan permodalan bagi UMKM menjadi salah satu program utama pemerintah saat ini, menurutnya UMKM diyakini bisa menjadi solusi dalam menghadapi ancaman resesi global. Namun demikian hingga saat ini masih banyak pelaku UMKM yang belum terakses dengan Lembaga keuangan formal.
“Rasio kredit UMKM terhadap total kredit perbankan masih berkisar 20,78 persen atau sebesar Rp1.316 triliun nilai kredit yang diberikan kepada UMKM dengan pembagian porsi kredit kepada usaha mikro sebesar 38,58 persen, usaha kecil sebesar 34,68 persen, dan usaha menengah 26,74 persen” ucap Temmy.
Temmy menambahkan berdasarkan survei bank Indonesia saat ini terdapat 69,5 persen UMKM masih belum menerima kredit, dan dari jumlah tersebut sebanyak 43,1 persen UMKM mengaku memerlukan pembiayaan dari perbankan, sehingga masih banyak UMKM yang masih membutuhkan pendanaan.
Kondisi tersebut, menyebabkan terjadinya financial gap UMKM di Indonesia sebesar Rp1.605 triliun karena belum mampu tersentuh dukungan pembiayaan dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya.
“Presiden telah menetapkan target nasional diantaranya capaian inklusi keuangan sebesar 90 persen dan rasio kredit UMKM minimal sebesar 30 persen pada tahun 2024,” kata Temmy.
Oleh karena itu pihaknya akan menggali permasalahan apa saja yang terjadi tentang pembiayaan UMKM.
Pada kesempatan yang sama Staf Khusus MenKopUKM Bidang Hukum Pengawasan Koperasi dan Pembiayaan Agus Santoso mengungkapkan ada 2 hal utama yang perlu dibenahi untuk mempermudah akses pembiayaan bagi UMKM, khususnya dalam memaksimalkan para talenta muda calon wirausaha yang potensial dalam mengembangkan bisnis dan menyerap pembiayaan.
“Kemajuan inovasi dan teknologi saat ini yang banyak dikuasai talenta muda diharapkan jangan sampai berbenturan dengan SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan), harapannya OJK dapat membuat aturan terkait kendala SLIK berdasarkan nilai kredit bermasalah,” kata Agus.
Sedangkan terkait kemungkinan penggantian collateral (jaminan) untuk pembiayaan Agus mengusulkan pemanfaatan teknologi dapat menggantikan fidusia.
“Kalau semua proses digital bisa masuk, pemberian kredit pembiayaan kepada UMKM tidak akan sulit, karena kalau berdasarkan collateral UMKM harus punya asset terlebih dahulu,” kata Agus.
Hal Senada disampaikan oleh Head of Center Macroeconomics and Finance Indef Rizal Taufikurahman menambahkan, pihaknya menyetujui untuk memperbaharui kebijakan kolateral, menurutnya saat ini harus ada inovasi untuk mempermudah akses pembiayaan.
“Perlu adanya inovasi pembiayaan untuk mendorong produktivitas usaha mikro dan wirausaha yang tidak hanya berbasis kolateral, saya kira Jamkrindo bahkan BRI yang concern dengan UKM juga menemui hal yang sama bagaimana inklusivitas wirausaha berbasis mikro, ternyata problemnya kolateral,” kata Rizal.
Chief Editor UKM Indonesia LPEM FEB UI Dewi Meisari menyebutkan, pendampingan sangat diperlukan bagi UMKM untuk memperbesar peluang pembiayaan ke Lembaga pembiayaan formal.
“Pemerintah perlu berkolaborasi dan bersinergi dengan stakeholder lain terkait pendampingan dengan UMKM,” jelas Dewi.
Wakil Ketua Hippindo Meshvara Kanjaya juga menambahkan bahwa UMKM harus didorong untuk bermitra dengan Usaha Besar.
“UMKM harus bermitra dengan Usaha Besar sehingga ada pendampingan yang dilakukan oleh Usaha Besar terkait kualitas produksi dan pendampingan lainnya,” ujar Meshvara Kanjaya
Dengan melakukan kemitraan, UMKM mendapatkan peluang untuk mengakses pembiayaan rantai pasok dengan Usaha Besar sebagai agregatornya
Dosen FEB UIN Jakarta DR. Indo Yana, mengungkapkan perlu adanya model fleksibilitas dalam hal pembiayaan.
“Misalnya pembiayaan bahan baku, jangka waktu, grace periode, tingkat diskonto, suku bunga, system pembayaran, angsuran dan pokok pinjaman (non anuitas) dan juga dilengkapi dengan Lembaga pendamping untuk memantau penggunaan kredit agar tepat guna,” kata Indo Yana.
Selain mengundang berbagai narasumber, forum tersebut juga mengundang 10 perwakilan asosiasi UMKM.