Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menepis anggapan bahwa dirinya telah meliberalisasi koperasi di Indonesia melalui kebijakan-kebijakannya karena justru sebaliknya, lewat kebijakannya ia terus berupaya mengkoperasikan korporasi melalui Koperasi Multi Pihak (KMP).
“Model KMP terbukti efektif di banyak negara dalam mengkonsolidasi sumber daya, fleksibel terhadap inovasi, serta skalabilitas organisasi dan model bisnis yang tinggi,” ucap MenKopUKM Teten Masduki pada acara Seminar Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) ke-77 yang diselenggarakan Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Indonesian Consortium for Cooperative Innovation di Jakarta, Jumat (19/7).
Di acara seminar bertema “Koperasi Multi Pihak Sebagai Game Changer Pertumbuhan Koperasi di Indonesia”, Menteri Teten mengatakan, berdasarkan data ODS sampai 31 Mei 2024 Kementerian Koperasi dan UKM mencatat sudah ada sebanyak 166 KMP yang sebagian besar merupakan koperasi baru dan hanya 15 koperasi konversi dari model konvensional.
Tercatat sedikitnya 80 KMP berdiri setiap tahun yang tersebar di berbagai kabupaten/kota dengan jenis koperasi produksi sebanyak 32 persen, jasa 26 persen, konsumsi 24 persen, dan sisanya pemasaran. “Sektor produksi, khususnya pertanian, cukup dominan daripada usaha lainnya, dan itu yang tengah menjadi concern kami,” kata MenKopUKM.
Kemudian, dari segi wilayah, KMP berdiri di beberapa provinsi di antaranya Jawa Barat 22 persen, sebanyak 14 persen di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 10 persen di Jakarta, Kalimantan, serta Nusa Tenggara masing-masing 8 persen, 9 persen di Sumatera. Sisanya, tersebar di Bali, Banten, DI Yogyakarta, Gorontalo, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau (Kepri), Lampung, Maluku, Riau, dan Sulawesi.
“Tingginya minat pendirian KMP di berbagai wilayah ini menunjukkan adanya antusiasme masyarakat terhadap koperasi dengan model multi pihak,” ucap Menteri Teten.
Menurut MenKopUKM, model ini dianggap lebih fleksibel dan adaptif dengan kebutuhan lokal, serta mampu memberikan manfaat yang lebih beragam kepada anggotanya.
Sama dengan negara lain, ujar Menteri Teten, perkembangan KMP di Indonesia dipicu karena perubahan ekonomi serta teknologi. Yang mana perubahan tersebut membuat model konvensional memiliki keterbatasan sampai batas tertentu.
“Dengan adanya KMP, saat ini masyarakat memiliki opsi yang beragam, yaitu tetap menggunakan model konvensional atau multi pihak. Hal itu kembali kepada koperasi masing-masing dengan menimbang konteks kebutuhannya,” ujar Menteri Teten.
MenKopUKM menggambarkan sektor perikanan, misalnya, dimana ekosistem dalam rantai pasok industri perikanan ini melintang panjang dari hulu sampai hilir. Mulai dari pembudidaya, agen pakan, buyer, hingga supplier.
Begitu juga sektor pertanian, dimana dari hulu hingga hilir banyak pihak yang terlibat dan mendapat keuntungan di dalamnya. “Intinya, semua sirkular ekonomi yang mendapat untung di dalamnya, bisa masuk koperasi. Jadi, petani tidak lagi sekadar menghasilkan produk pertanian, sedangkan yang selama ini untung besar adalah para pengepul,” ucap Menteri Teten.
Oleh karena itu, MenKopUKM berharap bisa membangun kekuatan industri sektor agriculture dan aquaculture melalui skema Koperasi Multi Pihak. “Karena, koperasi semacam ini akan terdorong untuk memanfaatkan teknologi di sektor produksi,” kata Menteri Teten.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) Hendrikus Passagi menjelaskan bahwa eksistensi koperasi berpotensi menjadi pilar ekonomi nasional. “Sekarang koperasi sedang tertidur atau ditidurkan karena ada yang tidak suka bila koperasi tumbuh menjadi besar,” kata Hendrikus.
Terlebih lagi, kata Hendrikus, ruang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia masih terbuka lebar. “Di dalam koperasi, ada nilai yang tidak bisa dimiliki korporasi. Yakni, solidarity,” kata Hendrikus.
Dan kini, menurut Hendrikus, koperasi sudah bisa dibawa masuk ke ekosistem ekonomi digital. “Sudah bisa tanpa tatap muka, bisa lintas negara, sah secara hukum dengan tanda tangan digital, hingga lebih mudah meminimalisir fraud,” ujar Hendrikus.