Oleh: Dr. Surya Wiranto, SH MH[1]
Abstrak
Perubahan tatanan internasional semakin nyata ketika Cina menggelar parade militer besar-besaran di Beijing pada awal September 2025, bersamaan dengan penyelenggaraan forum tingkat tinggi yang dihadiri para pemimpin dunia, termasuk India dan Mesir, dua negara yang selama ini dikenal cukup dekat dengan Amerika Serikat. Fenomena ini mengindikasikan pergeseran orientasi sejumlah negara menuju orbit pengaruh Cina. Faktor eksternal, seperti kebijakan tarif, retorika agresif, dan tuntutan ideologis dari Presiden Donald Trump, turut mempercepat alienasi terhadap sekutu-sekutu tradisional Washington. Tulisan ini mengkaji bagaimana tindakan politik luar negeri AS justru mendorong terbentuknya kedekatan strategis antara Cina, Rusia, dan Korea Utara, sekaligus menelaah implikasinya bagi stabilitas kawasan, termasuk konflik Israel-Palestina yang kian membara. Analisis menyoroti relevansi multipolaritas global bagi posisi Indonesia serta peluang diplomasi kreatif di tengah rivalitas kekuatan besar.
Kata kunci: Cina, Amerika Serikat, Donald Trump, geopolitik multipolar, Rusia, Korea Utara, Israel-Palestina, Indonesia.
1. Konteks
Peristiwa geopolitik pada September 2025 memberikan ilustrasi yang gamblang tentang pergeseran distribusi kekuatan global. Parade militer Cina di Beijing, yang diproyeksikan sebagai pawai kemenangan sekaligus simbol kebangkitan nasional, tidak hanya menampilkan kemampuan militer konvensional seperti rudal hipersonik DF-27, kapal induk Fujian, dan drone tempur generasi terbaru, tetapi juga dirancang sebagai panggung diplomasi. Kehadiran pemimpin dari negara-negara yang sebelumnya cenderung pro-AS, seperti Perdana Menteri India Narendra Modi dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, menandakan bahwa magnet kekuatan Cina kian meluas.
Konteks ini berakar dari evolusi panjang politik luar negeri AS yang belakangan lebih bersifat transaksional di bawah Presiden Donald Trump. Retorika proteksionisme melalui slogan “America First” tercermin dalam kebijakan tarif terhadap produk Cina senilai lebih dari USD 300 miliar sejak 2018 dan diperbarui dengan tarif tambahan pada 2025. Lebih jauh, sikap antagonistik Trump terhadap Uni Eropa, NATO, serta kebijakan imigrasi yang keras menciptakan jarak antara Washington dengan banyak sekutu tradisionalnya. Situasi ini membuka celah strategis yang segera dimanfaatkan oleh Cina untuk menegaskan diri sebagai kekuatan alternatif dengan menawarkan narasi multipolaritas dan pembangunan bersama dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI) serta forum multilateral BRICS Plus.
Dalam kondisi yang sama, Rusia menemukan momentum untuk memperdalam kemitraan strategis dengan Beijing. Isolasi Barat pasca-invasi Ukraina pada Februari 2022 membuat Moskow semakin tergantung pada dukungan ekonomi dan politik Cina. Kerja sama energi melalui pipa Power of Siberia 2 yang ditargetkan beroperasi penuh pada 2027 menjadi simbol saling ketergantungan. Korea Utara pun ikut terserap dalam orbit ini, dengan menerima dukungan logistik dan diplomatik dari Cina dan Rusia untuk melawan sanksi internasional. Fenomena ini menegaskan terbentuknya aliansi informal “anti-Barat” yang dipicu bukan semata ambisi Beijing atau Moskow, tetapi juga hasil dari kesalahan kalkulasi politik luar negeri AS yang gagal menjaga kohesi aliansi globalnya.
2. Analisis Masalah
Pertanyaan utama yang muncul adalah: apakah kebijakan Donald Trump secara tidak langsung sedang mempercepat terbentuknya blok otoritarian global yang terdiri dari Cina, Rusia, dan Korea Utara? Dari sudut pandang geopolitik, jawaban atas pertanyaan ini berhubungan erat dengan dinamika alienasi diplomatik.
Pertama, kebijakan tarif dan retorika keras terhadap mitra dagang seperti India, Turki, dan bahkan Uni Eropa, membuat banyak negara mulai mencari alternatif yang lebih stabil. India, misalnya, walaupun masih aktif dalam kerangka Quad bersama AS, Jepang, dan Australia, tetap hadir di forum Cina sebagai upaya menjaga keseimbangan. Ini menunjukkan pragmatisme negara-negara berkembang yang tidak lagi mau terjebak dalam eksklusivitas blok.
Kedua, pergeseran orientasi Mesir dan negara-negara Timur Tengah lainnya tidak dapat dilepaskan dari faktor energi. Sejak krisis harga minyak 2022, Arab Saudi, Iran, dan Uni Emirat Arab semakin intensif membangun hubungan dengan Cina sebagai pembeli utama energi mereka. Ketika Washington menuntut dukungan terhadap sanksi atas Rusia, banyak negara di kawasan menolak karena bertentangan dengan kepentingan energi domestik. Mesir, yang secara historis menerima miliaran dolar bantuan militer dari AS, kini mulai membuka jalur diplomasi baru dengan Beijing untuk mengurangi ketergantungan tunggal pada Washington.
Ketiga, faktor domestik di Amerika Serikat sendiri memperburuk persepsi global. Polarisasi politik dalam negeri, meningkatnya populisme, serta retorika anti-multilateralisme dari Trump menimbulkan kesan bahwa Washington tidak lagi dapat menjadi jangkar stabilitas dunia. Hal ini mengurangi daya tarik “soft power” Amerika, yang sejak Perang Dunia II menjadi salah satu instrumen utama hegemoni global.
Keempat, hubungan erat antara Cina, Rusia, dan Korea Utara secara praktis memperkuat blok militer informal yang mampu menantang keseimbangan kekuatan di Asia Timur. Latihan gabungan angkatan laut Rusia-Cina di Laut Jepang pada Juli 2025, serta pengiriman bantuan teknologi militer ke Korea Utara, menjadi bukti bahwa integrasi strategis ketiga negara ini semakin mendalam. Bagi AS, hal ini jelas menciptakan dilema keamanan yang membutuhkan biaya besar, sekaligus memecah fokus dari konflik lain seperti di Timur Tengah.
3. Solusi yang Memungkinkan
Menghadapi dinamika ini, terdapat beberapa solusi konseptual bagi komunitas internasional agar ketegangan tidak berkembang menjadi konfrontasi terbuka. Pertama, perlu diciptakan mekanisme dialog baru yang melibatkan negara-negara non-blok seperti Indonesia, Brasil, dan Afrika Selatan sebagai penyeimbang antara Barat dan blok otoritarian. Forum semacam “Global South Dialogue” dapat berfungsi sebagai jembatan untuk menyalurkan aspirasi negara berkembang tanpa terjebak dalam rivalitas besar.
Kedua, dedolarisasi yang didorong oleh BRICS harus diperlakukan secara pragmatis. Meskipun dolar masih menguasai 58% cadangan devisa dunia pada kuartal I 2025, upaya untuk memperluas transaksi menggunakan yuan, rubel, atau rupee menunjukkan arah perubahan sistem finansial global. Indonesia, misalnya, dapat mengembangkan local currency settlement dengan mitra utama seperti Cina dan India untuk mengurangi ketergantungan pada dolar, sembari tetap menjaga hubungan dengan pasar keuangan Barat.
Ketiga, dalam konteks Timur Tengah, solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina semakin jauh dari harapan setelah eskalasi militer Israel terhadap Gaza sejak Oktober 2023. Namun, ruang mediasi tetap terbuka melalui negara-negara yang menjaga hubungan dengan kedua pihak. Cina telah menawarkan diri sebagai mediator netral, sementara Indonesia memiliki legitimasi moral sebagai negara mayoritas Muslim yang konsisten mendukung Palestina. Kolaborasi ini dapat menjadi ruang inovasi diplomasi untuk menghindari total deadlock.
4. Aksi Strategis
Indonesia berada dalam posisi yang sangat unik di tengah konstelasi multipolar ini. Sebagai anggota G20, mitra strategis AS, sekaligus mitra dekat Cina dalam BRI, Indonesia memiliki kapasitas untuk memainkan peran sebagai penyeimbang. Namun, strategi ini hanya dapat berhasil jika disertai dengan aksi nyata.
Pertama, Indonesia perlu memperkuat peran ASEAN sebagai platform regional yang otonom. Dalam situasi di mana Asia Tenggara berpotensi menjadi arena kompetisi kekuatan besar, ASEAN harus didorong untuk mengedepankan prinsip sentralitas dan netralitas. Indonesia dapat menginisiasi “Jakarta Consensus” yang menegaskan sikap independen kawasan terhadap rivalitas global.
Kedua, Indonesia harus memanfaatkan sumber daya strategis, terutama nikel dan energi terbarukan, sebagai instrumen diplomasi. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki leverage dalam rantai pasok global baterai kendaraan listrik. Hal ini dapat digunakan sebagai modal tawar untuk menarik investasi teknologi dari AS dan Eropa, sembari memperluas akses pasar ke Cina dan India.
Ketiga, diplomasi publik harus diperkuat melalui keterlibatan aktif dalam isu global, termasuk kesehatan internasional dan krisis kemanusiaan. Kehadiran tokoh global seperti Dr. Sanjay Gupta dalam membahas reformasi kesehatan menunjukkan bahwa isu non-tradisional juga dapat menjadi sarana soft power. Indonesia dapat mengambil pelajaran untuk
memproyeksikan diri sebagai pemimpin moral dalam isu-isu kemanusiaan dan pembangunan.
5. Penutup
Konstelasi dunia sedang bergerak menuju era multipolar yang semakin kompleks. Kebijakan luar negeri Donald Trump, yang menekankan proteksionisme dan retorika agresif, justru mempercepat terbentuknya blok alternatif yang dipimpin Cina dan Rusia, dengan Korea Utara sebagai mitra militer penting. Perubahan orientasi negara-negara seperti India dan Mesir menandakan bahwa daya tarik Washington semakin menurun.
Dalam situasi ini, Indonesia dituntut untuk tidak bersikap pasif. Dengan posisi geopolitik strategis, kapasitas ekonomi yang tumbuh, dan legitimasi moral dalam isu-isu global, Indonesia dapat berperan sebagai penyeimbang, mediator, sekaligus motor penggerak tatanan internasional yang lebih adil. Strategi ini hanya mungkin berhasil apabila Indonesia berani menjalankan diplomasi aktif yang memadukan kepentingan nasional dengan visi global yang inklusif.
Daftar Pustaka
1. Acharya, A. (2017). The End of American World Order. Polity Press.
2. Applebaum, A. (2021). Twilight of Democracy: The Seductive Lure of Authoritarianism. Doubleday.
3. Fareed, Z. (2025). “Global Public Square: China’s Parade and the Decline of American Influence.” CNN International, September 2025.
4. Kupchan, C. (2012). No One’s World: The West, the Rising Rest, and the Coming Global Turn. Oxford University Press.
5. Malley, R., & Senor, D. (2025). Tomorrow Is Yesterday: Life, Death, and the Pursuit of Peace in Israel/Palestine. Random House.
6. O’Neill, J. (2001). Building Better Global Economic BRICs. Goldman Sachs Global Economics Paper No. 66.
7. Stuenkel, O. (2015). The BRICS and the Future of Global Order. Lexington Books.
World Bank. (2025). Global Economic Prospects. Washington, D.C.
8. IMF. (2025). World Economic Outlook Database. International Monetary Fund.
[1] Laksamana Muda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto, SH MH, sehari-hari sebagai Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia. Beliau juga sebagai Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia.