Krisis pangan masih menjadi isu penting yang meresahkan banyak negara. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP) mengeluarkan peringatan krisis pangan akut yang membayangi lebih dari 59 negara dengan penduduk dunia sekitar 970 juta. FAO dan WFP (2022) memperkirakan kelaparan dan ketahanan pangan dunia akan semakin memburuk pada masa akan datang.
Beberapa kondisi yang disinyalir sebagai penyebab yaitu: pelambatan produksi pangan, kelangkaan dan kenaikan bahan baku industri, perubahan iklim, dan konflik antar negara Rusia-Ukraina yang masih berlangsung menghambat ekspor dan harga bahan pangan seperti gandum dan biji-bijian. ”Saat ini bertambah konflik Timur Tengah yang juga akan berdampak,” kata Husnain PhD, Ketua Task Force Cetak Sawah, Kementerian Pertanian, pada acara Focus Group Discussion Perluasan Lahan Sawah sebagai Kunci Menuju Kedaulatan Pangan di Bogor (7/10) siang.
Penduduk Indonesia saat ini berjumlah 281,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,1% per tahun, sehingga pada tahun 2033 diperkirakan akan mencapai 309,8 juta jiwa. Jumlah ini tentu harus diimbangi dengan peningkatan produksi beras. Secara nasional, lahan sawah beralih fungsi sekitar 90-100 ribu hektar per tahun yang jika tanpa kompensasi apa-apa akan menyebabkan penurunan terus menerus kapasitas produksi pangan nasional, khususnya beras.
Data BPS (2023) menyebutkan pada tahun 2022 lahan sawah Indonesia memproduksi padi 55,67 juta ton GKG setara dengan 32,07 juta ton beras, sedangkan konsumsi 35,3 juta ton beras, terdapat defisit sekitar 3,23 juta ton beras. Beban peningkatan produksi makin berat yang tidak mungkin hanya mengandalkan lahan sawah eksisting (saat ini sekitar 7,38 juta hektar). Untuk itu diperlukan peningkatan luas areal tanam melalui pencetakan sawah baru. Lahan-lahan yang menjadi target perluasan areal pertanian adalah lahan non gambut, baik yang berada di lahan rawa maunpun non rawa.
Menurut Husnain, pemerintah berencana melakukan perluasan areal pertanian melalui Program Cetak Sawah seluas 3 juta hektar tahun 2025-2027 untuk mendukung Kedaulatan Pangan dan Lumbung Pangan Dunia. Untuk itu, persiapannya perlu dilakukan dari sekarang (2024). Daerah prioritas program tersebut adalah Merauke (Papua Selatan) dan Kalimantan Tengah masing-masing 1 juta hektar, Kalimantan Selatan 500 ribu hektar dan Sumatera Selatan 250 ribu hektar, sisanya (250 ribu hektar) di provinsi lain.
Prof. Ir. Muhammad Arsyad. S.P,. M.Si., Ph.D, Staf Khusus Menteri Pertanian RI, Bidang Percepatan Produksi Pertanian, mengatakan FGD dilakukan untuk mendapat masukan dari para ahli ilmu tanah agar persoalan di lapangan yang telah dihadapi dapat terselesaikan. ”Selama ini pemerintah sudah bergerak menambah area lahan pangan selain mengoptimalkan lahan pangan yang tersedia. Ada peluang, tantangan, dan kendala. Pemerintah membutuhkan solusi atas kendala-kendala yang ditemui di lapangan,” kata Arsyad.
Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc, guru besar ilmu tanah di Institut Pertanian Bogor, mengatakan penambahan luas lahan pangan memang penting dilakukan di Indonesia karena luas lahan pangan per kapita di Indonesia paling rendah di dunia yaitu hanya 0,026 ha per kepala. “Indonesia disebut sebagai negara agraris, tetapi lahan pangan per kapita kalah oleh Amerika Serikat yang disebut sebagai negara maju. Amerika memiliki luas lahan pangan per kapita 0,5 ha per kepala,” kata Budi.
Namun, Budi mengakui, menambah areal lahan pangan menjadi tantangan bagi pemerintah karena masih banyak persoalan yang harus diurai. Saat ini masih banyak provinsi yang area Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) belum menjadi bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dampaknya alih fungsi lahan masih belum optimal untuk dikendalikan. Kondisi semacam ini memicu kerawanan agraria yang dapat berdampak pada kerawanan nasional. Perlu segera dilakukan penguatan dengan langkah strategis seperti membentuk Kawasan Strategis Nasional Pangan (KSNP) dengan diversifikasi sumber bahan pangan.
Peluang lain adalah mengembangkan lahan rawa yang selama ini masih terabaikan. Menurut Dr. Basuki Sumawinata, mantan staf pengajar di Departemen Ilmu Tanah IPB, kunci keberhasilan pengelolaan lahan rawa adalah tetap harus belajar dari kesalahan masa lalu sehingga pada era sekarang pengelolaan harus mengikuti kaidah-kaidah yang betul. Pengelolaan air serta teknologi dalam budidaya diperlukan untuk mempercepat pencapaian target, sehingga kebutuhan akan pangan, ekonomi dan ekologi terpenuhi dengan baik. Keberhasilan pembukaan lahan rawa juga tidak diperoleh dalam kurun waktu satu-dua tahun, tetapi perlu durasi waktu yang lebih lama agar keberhasilan pengelolaan lahan rawa dapat diwujudkan.
FGD ini juga menampilkan pembicara lain seperti Prof. Fahmuddin Agus dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Dr. Anny Mulyani, anggota tim Task Force Cetak Sawah; dan Dr. Tauhid Ahmad, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Sementara sebagai pembahas adalah Prof. Momon Sodik Imanudin, guru besar ilmu tanah dari Universitas Sriwijaya; Prof. Dr. Ir. Akhmad Kurnain, M.Sc, guru besar ilmu tanah Universitas Lambung Mangkurat; dan Dr. Makruf Nurudin, S.P., M.P, Sekretaris Departemen Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada.***