Ditulis oleh : C Suhadi SH MH
Koordinator : Team Hukum Merah Putih
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sudah selesai, Probowo – Gibran telah dipilih dengan suara 58 % mengalahkan dua pesaingnya, Anis- Imin ( 24 % ) dan Ganjar – Mahfud ( 16 % ). Kemudian menurut konstitusi pasangan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR telah dilantik, 20 Oktober 2024 sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Prabowo Gibran terpilih secara konstitusional.
Kemenangan Prabowo Gibran sebelum dilantik mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah, karena menurut hukum perolehan suara Prabowo Gibran menjadi obyek perkara dari kedua paslon yang kalah. Dan seperti diketahui perjalanan perkara di MK terkait selisih suara tidak terbukti dan MK menguatkan hasil hitung KPU yang menyatakan Paslon 02 menang.
Dalam kontek hukum ketatanegaraan Presiden dan Wakil Presiden sah secara konstitusional. Dan atas nama hukum semua harus tunduk kepada semua produknya.
Belum genap setahun pemerintahan Prabowo Gibran sudah diguncang praharta. Mereka tidak puas dengan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, utamanya kepada Pak Wapres yang sudah terpilih secara konstitusional, bukan hanya karena aturan aturan yang selama ini digaungkan akan tetapi muaranya di suara rakyat pemilih yang capaiannya 58 %, sehihgga harus dicermati sebagai vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Seperti telah diuraikan diatas, peranti hukum proses menuju dari pencalonan hingga menjadi Presiden telah dilalui pada tahap yang berlaku. Namun pada kenyataannya sikap kritis yang tidak terukur terus saja menjadi bola liar yang sangat mengganggu. Apa ada yang salah dengan sistem hukum kita?
Mengenal konstitusi dari para Filsuf.
Dalam pandangan positivisme hukum yang dipelopori oleh Auguste Comte, bahwa hukum harus didasarkan pada pengamatan ilmiah dan metode positivis, atau menurutnya Hukum adalah merupakan alat untuk terciptanya lebih teratur dan ajaran ini tidak mengenal pandangan spekulasi. Pandangan ini diperkuat dengan John Austin, hukum menurutnya adalah perintah yang sah yang dikeluarkan oleh kedaulatan dan harus dipatuhi. Hans Kelsen yang menganut hukum murni lebih modern, bahwa hukum itu bertujuan membersihkan hukum dari pengaruh ideolgi dan nilai nilai.
Dari gambaran ke tiga filsuf ini positivisme hukum menekankan bahwa harus ada pemisahan antara hukum dan moral dan menekankan hukum yang berlaku secara positif (hukum yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang). Dan dari pemikiran pemikiran ini para ilmu pengetahuan yang bermuara dari filsafat (hukum) sangat mengharapkan gagasan berupa munculnya hukum positif yang membedakan hukum itu sendiri dengan moral.
Pandangan Hukum Positif dalam konstitusi dari keberlakuannya dalam civil law di Indonesia.
Hans Kelsen sebagai pelapor lahirnya Hukum Positif, dalam tiorinya sebagai penjawantahan dari tiori hukum murni, bahwa hukum positif adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku bukan mengenai hukum yang seharusnya. Dan berdasarkan asal usulnya hukum positif berasal dari kata positum (ditetapkan). Sehingga dari gambaran ini apa yang disebut hukum positif adalah hukum yang dilahirkan dari otoritas yang berwenang.
Dalam negara hukum yang menganut sistem civil law, maka definisi otoritas yang berwenang adalah berupa kewenangan yang bersumber dari Eksekutif/ Pemerintah dan Legislatif/ DPR (pasal 20 UUD 45) dalam menyusun uu sebagai hukum tertulis.
Kemudian hukum tertulis tersebut dinamakan UUD, UU dan lain lain sebagai keberlakuannya dibuat oleh otoritas negara.
Sejalan perkembanganny hukum-hukum yang dibukukan yang bernama UUD, UU dan seterunya disebut hukum positif atau disebut dengan ius constitutum, hukum yang berlaku sekarang, UUD 45, UU dll. Selain itu dikenal juga istilah lain ius constituendum kebalikannya yaitu, hukum yang diharapkan akan berlaku kemudian atau hukum yang dicitacitakan akan berlaku, namun belum menjadi bentuk.
Permakzulan tidak boleh mengambil makna dari negeri dongeng.
Dari paham paham ini, dikaitkan dengan adanya hukum positif sebagai kajian pada terminasi domien hukum yang merujuk kepada UUD 45 yang sudah diamandeman telah mengatur banyak hal yang berkaitan kepentingan hajat hidup orang banyak, termasuk masalah pemilu chususnya pada domain permakzulan, konstitusi kita/ uud 45 telah secara limitatif mengatur dengan jelas sebagaimana tertuang dalam pasal 7 a, antara lain ;
Penghianatan kepada Negara.
Korupsi.
Dan tindak pidana berat lainnya.
Dengan menggunakan metode determinasi pasal 7 a sebagai sumber hukum positif, sehingga permakzulan tidak dapat menggunakan terminologi lain seperti; putusan MK tidak sah, pemilu tidak sah dan seterusnya.
Pertama kali MK menurut kaca hukum sudah menjadi hukum postitif, karena prosesnya sudah sesuai dengan konstitusi demikian juga, pemillu tidak sah. Pada kajian hukum ini semua pihak telah menguji terkait keberatan itu dan hasilnya tetap keputusan KPU menjadi parameter hukum yang menentukan kemenangan karena faktanya memang rakyat telah memilih Prabowo – Gibran.
Dan terkait produk hukumnya, juga telah menjadi hukum positif. Dengan begitu tidak ada lagi ruang dalam bentuk keberatan keberatan yang narasinya pada kepentingan tidak jelas karena hukum dan uu tidak mendukung gerakan gerakan yang diluar kontek. Karena hukum positif bukan berasal dari negeri dongeng yang kapan saja orang boleh bermimpi, karena memang mimpi yang bebas adalah mimpi yang berada di negeri dongeng. Apakah mau para kritikus hidup dalam alam lain, yaitu negerj dongeng.