Ditulis oleh : C Suhadi SH MH
Koordinator Team Hukum Merah Putih
Putusan MK yang baru saja dibacakan Selasa, 19 Agustus 2024 cukup membuat kaget banyak pihak. Utamanya karena putusan itu menjadi heboh bukan karena batas usia yang banyak dicaci maki banyak orang, terutama dari kelompok partai tertentu yang katanya Partai Wong Cilik dan dalam kaitan putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas perolehan Kursi menjadi berbasis suara yang dimiliki parpol, baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam putusannya MK merubah prasa di pasal 40 UU No. 10 tahun 2016, antara lain :
-ambang batas perolehan Kursi diubah menjadi Perolehan suara berdasarkan DPT ( Daftar Pemilih Tetap ).
-sekurang kurangnya 20 % perolehan kursi, diubah menjadi 7.5 % apabila DPT disalah satu Provinsi berjumlah 2 juta DPT. Dan seterusnya.
Demikian juga untuk Pilkada Kabupaten/ Kota juga sama. Bukan lagi dari penjumlahan kursi akan tetapi DPT.
Dari sisi hukum langkah yang diambil MK perlu diapresiasi, karena dengan begitu partai atau gabungan parpol yang tidak punya kursi asalkan memenuhi syarat ambang batas DPT maka dapat mengajukan calon Gubernur, Bupati dan atau Walikota. Sehingga perolehan kursi yang selama ini menjadi ukuran tidak lagi diperlukan.
Terkait putusan MK yang telah merubah prasa pasal 40 ayat 1 UU Pilkada, maka saat diucapkan menjadi produk hukum. Hal ini sejalan dengan putusan MK sesuai dengan bunyi pasal 10 UU No. 24 tahun 2003, bahwa putusan MK bersifat Final and binding. Sehingga dengan berpedoman kepada pasal 10 UU No. 24 tahun 2003. Sehingga menurut semangatnya putusan harus dijalankan karena putusan MK dianggap telah final.
Namun putusan MK harus disosialisasikan ke DPR, Presiden dan KPU sebagai bentuk dari tindak lanjut pelaksanaan uu. Ternyata DPR terhadap putusan a quo oleh Baleg dalam rapatnya hanya menyetujui putusan MK terhadap parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD, ( detik com, 21 Agustus 2024 ).
Sedangkan parpol yang mempunyai kursi tetap berlaku di pasal 40 ayat 1 uu No. 10 tahun 2016, yaitu dapat mencalonkan sepanjang suara kursi di DPRD adalah 20%.
Dengan begitu PDI P apabila langkah dewan di tingkat Paripurna mengesahkan hal tersebut maka dapat dipastikan PDI P tetap tidak dapat mengajukan calon di Jakarta dan daerah daerah lainya di Indonesia, karena PDI P bukan partai non parlement.
Apakah salah langkah Baleg ( Badan Legislasi ) DPR RI karena tidak menjalankan seluruh – amar – putusan MK yang bersifat final and binding.
Dari beberapa refensi yang penulis baca sementara dalam menilai pasal 40 ayat, 1, 2, 3 dan 4 hanya pada pasal 3 saja oleh MK pasal 40 ayat 3 yang tidak mempunyai kekuatan hukum, sedangkan pasal 40 ayat 1 dan 2 tidak dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Dengan begitu langkah baleg sudah tepat dalam melaksanakan isi putusan Mahkamah Konstitusi.