Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM (SesKemenKopUKM) Arif Rahman Hakim menekankan perlunya ketepatan dalam menentukan parameter UMKM naik kelas sehingga dapat dipilih bentuk intervensi kebijakan yang paling sesuai untuk mendukung perkembangan UMKM ke depan.
SesKemenKopUKM Arif Rahman Hakim dalam acara Rapat Koordinasi Perencanaan Pengembangan Koperasi, Kewirausahaan, dan UMKM (Jaring Pendapat) di Kota Ternate, Maluku Utara, Jumat (20/10) mengatakan selama ini kriteria UMKM yang digunakan adalah kenaikan omzet dan aset UMKM sebagaimana diklasifikasikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Di acara yang dihadiri para Kepala Dinas Koperasi dan UKM seluruh Indonesia baik secara offline maupun online itu, Arif menjelaskan, penelitian yang dilakukan Milagrosa (2014) mengelompokkan proses UMKM naik kelas menjadi tiga tipe. Yaitu, mampu berkembang dari bisnis yang stagnan (berdasarkan omzet, produktivitas, dan jumlah tenaga kerja). “Tipe lainnya adalah yang mampu berubah dari usaha informal menjadi formal, serta mampu melakukan inovasi,” kata Arif.
Intinya, Arif menjabarkan, ada pendapat para ahli dan pemangku kebijakan lainnya bahwa terdapat berbagai indikator strategis yang dapat mengindikasikan bahwa suatu UMKM telah naik kelas.
SesKemenKopUKM memberikan contoh Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia (BI) yang menyampaikan bahwa terdapat beberapa indikator UMKM naik kelas, seperti UMKM Digital, UMKM yang terhubung dengan akses pembiayaan, UMKM Ekspor, hingga UMKM Hijau.
Untuk itu, Arif mengakui, pihaknya telah melaksanakan pembahasan awal terkait masukan indikator UMKM naik kelas bersama dengan berbagai pihak yang melakukan pembinaan terhadap UMKM, diantaranya peneliti, Kementerian/Lembaga, dan para asosiasi UMKM.
Hasilnya, dalam menentukan UMKM naik kelas perlu diperhatikan hal-hal seperti, pertama, terwujudnya seluruh variabel yang menjadi amanat PP Nomor 7 Tahun 2021 dan PP Nomor 8 Tahun 2021.
Kedua, terwujudnya kenaikan omzet UMKM. “Saat ini, dapat dilakukan pemetaan data omzet UMKM melalui e-commerce dan QRIS. Untuk itu, diperlukan adanya linkage antara BI dan platform digital untuk memetakan hal tersebut,” ucap Arif.
Ketiga, inklusifitas UMKM dalam pemanfaatan teknologi informasi. Disini, perlu adanya linkage yang menghubungkan peneliti dengan UMKM untuk melakukan inovasi berbasis teknologi sesuai dengan kebutuhan UMKM.
Keempat, terwujudnya kemudahan ekspor dan akses informasi. Kelima, terwujudnya klasterisasi dan hilirisasi produk sebagaimana telah dilakukan pilot project Rumah Produksi Bersama yang diharapkan dapat direplikasi di daerah-daerah lainnya.
“Dalam menentukan indikator UMKM naik kelas, kami sangat membutuhkan masukan dari Pemerintah Daerah yang membidangi koperasi dan UMKM agar kebijakan yang dihasilkan dapat diimplementasikan pada seluruh tingkatan,” ucap SesKemenKopUKM.
Arif berharap berbagai langkah pembahasan yang telah dilakukan tersebut dapat ditindaklanjuti dengan membentuk susunan indikator yang akan dijadikan pedoman bagi para pelaku usaha, Kementerian/Lembaga, hingga praktisi dan asosiasi UMKM dalam menentukan kriteria UMKM naik kelas.
Gabung Koperasi
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov Maluku Utara (Malut) Samsuddin Abdul Kadir mengatakan, untuk meningkatkan kapasitas usaha pelaku UMKM yang ada di Maluku Utara yang didominasi usaha ultra mikro dan mikro, maka pelakunya harus bergabung dalam satu wadah bernama koperasi.
“Saya ibaratkan balon kecil, sekuat apapun ditiup akan tetap kecil. Namun, bila balon-balon kecil itu digabungkan, dapat menerbangkan beban seberat apapun,” kata Samsuddin.
Sekda Malut pun mendorong para pelaku UMKM yang memiliki usaha sejenis untuk bergabung dan membentuk sebuah koperasi. “Koperasi bisa mengelola rumah produksi bersama. Sehingga, kualitas produk dapat tetap terjaga,” ucap Samsuddin.
Sebab, bagi Samsuddin, dalam perkembangan ekonomi satu daerah dibutuhkan pula pengembangan UMKM. Targetnya, UMKM naik kelas dan mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar sebagai pemasok kebutuhan lokal hingga nasional.
“Kita kaya akan rempah-rempah yang sudah terkenal sejak zaman dahulu. Bahkan, sejarah mengungkapkan bahwa Ternate dan Tidore merupakan titik nol jalur rempah dunia. Potensi rempah-rempah ini yang akan terus kita kembangkan agar menghasilkan banyak produk olahan berbahan baku rempah,” kata Samsuddin.