Oleh: Dr Surya Wiranto SH MH
Abstrak
Gelombang demonstrasi besar-besaran yang melanda berbagai wilayah Indonesia merupakan fenomena sosial yang merepresentasikan kegelisahan struktural masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan action research dengan kerangka See-Judge-Act untuk menganalisis akar permasalahan dan merumuskan solusi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa demonstrasi yang melibatkan buruh, mahasiswa, pengemudi ojek online, dan pelajar ini dipicu oleh persepsi ketidakadilan regulasi, ketimpangan ekonomi, dan minimnya ruang partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Berpedoman pada prinsip salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) dan dilihat dari kacamata keamanan nasional dan hukum, penelitian ini menyimpulkan bahwa resolusi berkelanjutan terletak pada pembukaan kanal dialog yang inklusif dan autentik, peninjauan ulang kebijakan yang pro-rakyat, serta penguatan institusi demokrasi. Upaya ini penting untuk mentransformasi protes menjadi progres dan mengembalikan kepercayaan publik.
Kata Kunci: Demonstrasi, Vox Populi, Action Research, Keamanan Nasional, Rule of Law, Indonesia
1. Pendahuluan
“Vox Populi, Vox Dei” – suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan klasik ini bukan sekadar adagium, melainkan napas dari demokrasi, yang menemukan manifestasinya yang paling nyata dalam hak untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Dalam lanskap Indonesia di hari-hari terakhir ini, maknanya terasa semakin relevan dan bergema di sepanjang jalanan ibu kota hingga daerah. Gelombang demonstrasi yang mengguncang berbagai daerah menjadi penanda kuat bahwa suara masyarakat tidak bisa lagi diabaikan dan merupakan sebuah harmonic kegelisahan yang berpadu menjadi panggilan moral bagi negara untuk mendengar, memahami, dan bertindak dengan bijaksana.
Aksi massa yang melibatkan secara simultan elemen buruh yang menuntut perlindungan hak normatif, mahasiswa yang memekikkan idealisme dan kritik kebijakan, pengemudi ojek online yang merasakan dampak langsung kebijakan pemerintah, hingga pelajar yang menginginkan kepastian masa depan yang lebih baik, menandakan bahwa persoalan yang diangkat bukanlah isu sektoral melainkan kegagalan sistemik dalam merespons aspirasi publik. Dalam kerangka hukum, situasi ini mengingatkan pada dalil filosofis salus populi suprema lex, yang menempatkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi yang harus menjadi orientasi setiap kebijakan negara. Setiap tindakan pemerintah yang ditujukan untuk menyelamatkan rakyat dan segala instruksi yang diberikan, pada hakikatnya adalah tindakan menegakkan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya untuk menelaah fenomena demonstrasi ini secara komprehensif, tidak sebagai sebuah anomali, melainkan sebagai gejala dari sebuah proses demokrasi yang dinamis namun memerlukan navigasi yang cermat.
Melalui pendekatan action research model See-Judge-Act, naskah ini akan membedah konteks empiris dari demonstrasi, menganalisisnya secara kritis melalui berbagai perspektif, termasuk sudut pandang keamanan nasional dan hukum, serta akhirnya merumuskan serangkaian aksi strategis yang dapat diambil oleh berbagai pemangku kepentingan untuk merespons suara rakyat tersebut secara konstruktif dan berkelanjutan, sehingga stabilitas sosial dan hak-hak konstitusional warga negara dapat berjalan beriringan. Sebagai seorang yang pernah mengabdi di institusi TNI dan kini berkecimpung dalam dunia advokasi, penulis menawarkan perspektif ganda yang memadukan prinsip ketertiban negara (state security) dengan perlindungan hak-hak sipil (human security) dalam bingkai Negara Hukum Republik Indonesia.
2. Memotret Realitas Demonstrasi dan Akar Permasalahannya
Fase pertama dalam pendekatan ini adalah melihat dan mendeskripsikan realitas secara objektif. Gelombang unjuk rasa yang terjadi pada akhir-akhir ini dapat dikatakan sebagai salah satu yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir, dengan massa yang memadati titik-titik strategis seperti di sekitar Istana Merdeka, Gedung DPR/MPR RI, serta jalan protokol utama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Data yang dihimpun dari lembaga pemantau seperti Komnas HAM dan LBH Jakarta menunjukkan estimasi partisipan yang mencapai puluhan ribu orang secara kumulatif di seluruh Indonesia, dengan beragam tuntutan yang spesifik namun memiliki benang merah yang sama, yaitu penolakan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan dan mengikis daya hidup masyarakat. Kalangan buruh, yang terhimpun dalam konfederasi seperti KSPI, menolak penetapan upah minimum yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak dan menuntut dicabutnya aturan yang mempermudah outsourcing.
Sementara itu, mahasiswa dari berbagai front seperti BEM SI dan LMND menyoroti masalah yang lebih luas, termasuk intervensi militer dalam sipil, demokratisasi yang mandek, dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada rakyat. Yang menarik dan merupakan fenomena baru adalah partisipasi masif dari pengemudi ojek online yang tergabung dalam platform seperti Grab dan Gojek, yang melakukan protes akibat kebijakan tarif yang dinilai tidak adil dan semakin memperparah pendapatan mereka di tengah tekanan inflasi. Tidak ketinggalan, pelajar juga turun ke jalan menyuarakan kekhawatiran mereka akan masa depan pendidikan dan lapangan kerja yang suram. Keragaman partisipan ini menunjukkan bahwa gelombang demonstrasi ini adalah ledakan ketidakpuasan yang bersifat multidimensi dan akumulatif, yang dipicu oleh persilangan antara isu ekonomi, politik, dan keadilan sosial.
3. Analisis Kritis dari Kacamata Keamanan Nasional dan Hukum
Setelah memotret realitas, fase kedua adalah menilai atau menganalisis secara kritis akar masalah dan implikasi dari fenomena tersebut. Dari sudut pandang sosiologis, demonstrasi besar-besaran ini merupakan bentuk dari social strain (ketegangan sosial) yang terjadi ketika terdapat kesenjangan yang lebar antara harapan masyarakat akan keadilan dan kesejahteraan dengan realitas kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Dari perspektif keamanan nasional, yang kita pahami selama berkarier di TNI, situasi ini merupakan ancaman non-militer (non-traditional security threat) yang sangat nyata. Ketegangan ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat merusak stabilitas nasional, mengganggu pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya melemahkan ketahanan bangsa. Ketegangan ini diperparah oleh persepsi bahwa proses formulasi kebijakan, seperti penetapan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, dilakukan dengan minimnya transparansi dan partisipasi publik yang autentik, sehingga melahirkan rasa ketidakadilan (sense of injustice) yang mendalam.
Dalam perspektif hukum tata negara, prinsip salus populi suprema lex seharusnya menjadi navigator utama, namun dalam implementasinya, banyak kebijakan justru dianggap mengabaikan keselamatan dan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang. Sebagai seorang Advokat, kami menegaskan bahwa UUD 1945 telah menjamin hak untuk berkumpul dan menyatakan pendapat (Pasal 28E ayat 3), dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan rambu-rambu pelaksanaannya. Oleh karena itu, demonstrasi yang damai adalah manifestasi sah dari kedaulatan rakyat. Dari sisi penegakan hukum dan keamanan, situasi ini menciptakan dilema yang kompleks. Di satu sisi, negara melalui aparatnya memiliki kewajiban konstitusional untuk menjaga ketertiban umum dan mencegah kerusakan (public order). Namun di sisi lain, berdasarkan pengalaman dan hukum, penggunaan aparat keamanan yang represif dan tidak proporsional justru dapat menjadi fuel yang memperbesar api kemarahan publik, memicu eskalasi kekerasan, melanggar hak asasi manusia, dan pada akhirnya mengikis legitimasi negara di mata rakyatnya. Beberapa insiden seperti pembubaran paksa, penangkapan massal, dan dugaan kekerasan oleh aparat yang terekam dan viral di media sosial telah menjadi flashpoint yang memperkeruh situasi dan merusak citra TNI/Polri di mata publik. Dampak yang paling berbahaya adalah erosi kepercayaan publik (trust deficit) terhadap institusi pemerintahan dan demokrasi itu sendiri. Jika suara rakyat terus-menerus dianggap sebagai gangguan ketertiban daripada umpan balik yang berharga, maka yang terjadi adalah penguatan narasi bahwa perubahan hanya dapat dicapai melalui konfrontasi, bukan melalui jalur dialogis dan institusional.
4. Merancang Rangkaian Aksi Strategis dan Konstruktif: Rekomendasi untuk Pemerintah
Berdasarkan analisis mendalam pada fase judge, maka fase ketiga, act, difokuskan pada perumusan rangkaian aksi strategis dan konstruktif untuk merespons krisis kepercayaan ini. Sebagai seorang purnawirawan TNI dan Advokat, kami merekomendasikan langkah-langkah berikut kepada Pemerintah:
Pertama, Pemerintah harus segera mengambil inisiatif untuk membuka dan memfasilitasi kanal dialog yang inklusif, autentik, dan bermartabat. Dialog tidak boleh bersifat seremonial atau satu arah, tetapi harus menjadi ruang yang aman bagi para pihak untuk menyampaikan kepentingannya secara langsung. Pemerintah, dalam hal ini, perlu diwakili oleh figur yang memiliki kapasitas dan kewenangan mengambil keputusan, bukan sekadar perantara. Sebagai negarawan, Presiden dapat memimpin langsung dialog ini untuk menunjukkan keseriusan.
Kedua, Sebagai bentuk nyata keseriusan, pemerintah harus bersedia melakukan peninjauan ulang (review) terhadap kebijakan-kebijakan yang paling banyak disorot. Peninjauan ini harus melibatkan publik secara terbuka dan didasarkan pada kajian mendalam yang mempertimbangkan dampak sosialnya, tidak hanya pertumbuhan ekonomi semata. Dalam konteks hukum, langkah ini merupakan bentuk penghormatan terhadap prinsip rule of law dimana hukum harus adil dan diterima oleh masyarakat.
Ketiga, Dalam hal penanganan keamanan, kami merekomendasikan pendekatan smart security yang berperspektik hukum dan hak asasi manusia. Protokol penanganan unjuk rasa harus ditegaskan untuk memprioritaskan de-eskalasi, komunikasi, dan perlindungan terhadap hak konstitusional untuk berpendapat. Aparat keamanan harus bertindak profesional, membedakan dengan tegas antara peserta demonstran yang damai dengan pelaku pengacau keamanan (provokator atau agent provocateur). Tindakan tegas hanya boleh dilakukan terhadap kelompok yang terakhir, dan itupun harus berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Pelatihan ulang tentang human rights-based policing dan teknik manajemen kerumunan tanpa kekerasan sangat mendesak untuk dilakukan.
Keempat, Membangun mekanisme grievance redresal (penyelesaian keluhan) yang permanen dan efektif. Mekanisme ini bisa berupa platform digital yang terintegrasi dengan lembaga pemerintah terkait, yang mampu merespons dan menindaklanjuti keluhan dengan cepat dan transparan.
5. Rekomendasi Aksi Jangka Panjang
Rangkaian aksi tersebut harus dilengkapi dengan strategi jangka panjang. Pertama, Penguatan fungsi lembaga perwakilan rakyat. DPR dan DPRD harus menjalankan fungsi legislasinya dengan benar-benar mendengarkan aspirasi konstituen. Kedua, Media massa harus berperan sebagai watchdog yang sehat, bukan memperkeruh situasi dengan pemberitaan yang tidak berimbang.
Ketiga, Sebagai bagian dari masyarakat, peran yang dapat kita jalankan adalah menjadi bridge builder (jembatan). Dengan latar belakang TNI, kita dapat berkomunikasi dengan pihak-pihak dalam institusi keamanan untuk mendorong pendekatan yang lebih persuasif dan proporsional. Sebagai Advokat, kita dapat menawarkan diri untuk memfasilitasi dialog antara pemerintah dan perwakilan demonstran, memastikan bahwa proses hukum dijalankan dan hak-hak semua pihak dilindungi. Kita juga siap memberikan legal opinion dan konsultasi kepada pemerintah mengenai langkah-langkah yang sesuai dengan konstitusi dan dapat meredakan ketegangan.
Keempat, Membangun budaya politik baru yang berorientasi pada dialog. Pendidikan kewarganegaraan perlu ditingkatkan. Perlu disadari bahwa demonstrasi adalah sistem peringatan dini (early warning system) yang menunjukkan adanya persoalan serius. Tindakan represif hanya akan mematikan alarm tersebut. Oleh karena itu, respons yang bijaksana dan berorientasi pada solusi adalah satu-satunya jalan untuk mengubah momentum protes ini menjadi momentum progres, yaitu sebuah lompatan kolektif menuju tata kelola pemerintahan yang lebih adil, inklusif, dan responsif.
6. Penutup
Secara keseluruhan, gelombang demonstrasi yang terjadi merupakan cerminan dari dinamika demokrasi Indonesia yang hidup namun sedang diuji. Ujian tersebut terletak pada kemampuan seluruh elemen bangsa, terutama pemerintah, untuk mendengarkan dan merespons vox populi bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai umpan balik yang sangat berharga untuk perbaikan bangsa.
Prinsip salus populi suprema lex harus menjadi pedoman tertinggi, bahwa hukum dan kebijakan pada akhirnya harus tunduk pada tujuan utama, yaitu keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Jika kebijakan justru menimbulkan kesengsaraan, maka sudah menjadi kewajiban moral dan konstitusional negara untuk mengoreksinya. Jalan ke depan menuntut kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah untuk membuka diri, mendengarkan dengan empati, dan bertindak tegas mereformasi kebijakan yang cacat.
Di sisi lain, elemen masyarakat juga didorong untuk menjaga agar protes tetap pada koridor konstitusional dan damai, menghindari tindakan anarkis yang dapat merusak pesan substantif dari perjuangan mereka. Masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada bagaimana negara dan rakyatnya melalui momen-momen krusial seperti ini. Apakah kita akan memilih jalan represi yang memicu siklus kekerasan, atau jalan dialog yang membuka pintu bagi terciptanya tata kelola bersama yang lebih adil dan berkelanjutan. Pilihan ada di tangan kita semua untuk memastikan bahwa suara rakyat benar-benar menjadi suara yang didengar dan dihormati, karena pada akhirnya, dalam demokrasi, kebijaksanaan kolektif rakyatlah yang akan membawa bangsa ini pada cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai seorang yang telah mengabdi untuk negara, saya percaya bahwa kekuatan terbesar Indonesia terletak pada persatuan dan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan melalui dialog yang santun dan bermartabat, dengan tetap berpegang teguh pada konstitusi dan hukum yang berlaku.
Daftar Pustaka
1. Aristotle. (2000). Politics. (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.
2. Buehler, M. (2016). The Politics of Shari’a Law: Islamist Activists and the State in Democratizing Indonesia. Cambridge University Press.
3. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (2023). *Laporan Pemantauan Hak Berserikat dan Berkumpul Triwulan IV-2023*. Jakarta.
4. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta). (2023). Catatan Awal Tahun: Kondusi Kebebasan Sipil dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta.
5. Locke, J. (1689). Two Treatises of Government. Awnsham Churchill.
6. McCarthy, J. F., & Ibrahim, R. (2020). Mobilizing for Justice: Labour and Legal Activism in Indonesia. Journal of Contemporary Asia.
7. Aspinall, E. (2013). The Nation in Fragments: Patronage and Neoliberalism in Contemporary Indonesia. Critical Asian Studies.
8. Tilly, C. (2004). *Social Movements, 1768-2004*. Paradigm Publishers.
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
10. World Bank. (2023). *Indonesia Economic Prospects – December 2023: Towards Faster and Cleaner Growth*. World Bank Group.
[1] Laksamana Muda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto, SH MH, sehari-hari sebagai Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Beliau juga sebagai Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia. Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia.