Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan wacana pengenaan cukai kemasan plastik yang rencananya akan diterapkan di tahun 2024. Dinilai penerapan cukai plastik ini bisa memicu penurunan tingkat konsumsi masyarakat atau konsumsi rumah tangga sehingga pertumbuhan ekonomi akan terancam turun.
Anggota Apindo, Rachmat Hidayat mengatakan selama ini kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi masih menjadi yang terbesar dari sisi kelompok pengeluaran. Sementara konsumsi rumah tangga tersebut lebih banyak terjadi pada produk – produk FMCG (Fast Move Consumers Goods) dimana produk tersebut mayoritas menggunakan plastik.
“Belanja untuk produk makanan dan minuman (konsumsi rumah tangga) itu kontribusi terhadap PDB sekitar 50,8 persen yang notabene adalah terkait produk FMCG, artinya kalau konsumsi turun maka ekonomi pasti akan melambat,” ujar Rachmat dalam diskusi publik terkait kebijakan cukai dan pengelola sampah di Jakarta, Selasa (21/11).
Menurutnya pengenaan cukai plastik akan berimbas pada peningkatan harga produk yang menggunakan plastik. Akibatnya inflasi naik dan masyarakat akan melakukan penyesuaian konsumsi dengan menurunkan tingkat konsumsinya. Hal ini berdampak pada produktivitas industri sebagai produsen termasuk akan berimbas pada kebutuhan tenaga kerja.
“Cukai plastik untuk saat ini bukan pilihan pertama, masih ada pilihan yang lain yang bisa diambil dengan risiko yang jauh lebih rendah,” sambungnya.
Senada dengan hal itu, Dirjen Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Reni Yanita mengatakan penerapan cukai plastik akan sangat berdampak pada industri khususnya bagi IKM. Hal itu terjadi karena cukai akan memicu kenaikan harga produk sehingga daya beli masyarakat akan turun.
Akibatnya industri akan melakukan penyesuaian jumlah produk yang beredar sehingga hal tersebut bisa memicu naiknya produk impor dengan alasan penyesuaian daya beli masyarakat. Dari sisi konsumsi plastik per kapita di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain yaitu hanya 22,5 kg/ kapita.
“Saat ini kita tidak perlu membatasi konsumsi (plastik), jadi kalau ada cukai maka akan berdampak pada harga meski itu dibebankan ke konsumen tetapi itu akan menurunkan permintaan,” ulas Reni.
Dia menegaskan bahwa cukai plastik untuk saat ini bukan menjadi strategi utama dan pertama bagi pemerintah untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara sekaligus mengendalikan dampak lingkungan dari konsumsi plastik. Menurutnya yang perlu dioptimalkan adalah memaksimalkan pengelolaan sampah terutama yang berasal dari plastik untuk bisa didaur ulang menjadi produk yang lebih bernilai.
“Pengenaan cukai bukan hal utama karena yang utama adalah pengelolaan sampahnya meski sudah kita kenal ada pemisahan sampah tapi begitu di TPA (tempat pembuangan akhir) siapa yang kawal,” ulasnya.
Ekonom INDEF (Institute for Development, of Economics and Finance), Ahmad Heri Firdaus membenarkan pengenaan cukai plastik yang rencananya akan diimplementasikan pemerintah pada tahun 2024 mendatang menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi.
Implementasi cukai plastik hanya berdampak kecil bagi penerimaan negara namun di saat yang sama kita berisiko akan kehilangan lebih banyak dari nilai produk industri. Parahnya kebijakan ini juga berpotensi terhadap kenaikan inflasi.
Apabila ditimbang-timbang antara manfaat dan risiko, kebijakan ini akan jauh mendatangkan risiko bagi perekonomian nasional.
“Cukai kemasan plastik dampaknya tidak hanya industri saja tapi juga industri penggunanya. Mereka akan terdampak secara ekonomi karena akan terjadi kenaikan harga input (bahan baku),” ujar Heri.