oleh: C. Suhadi
Ketua Umum NINJA
(Negeriku Indonesia Jaya)

Baru-baru ini ada paparan tulisan yang disusun Kuat Hermawan Santoso, Koordinator “BOLONE MASE” mengenai seorang sosok Gibran, dan penamaannya pun unik- Ada Apa dengan Gibran – tentunya mengingatkan kita pada sebuah Judul Film era 90-an yang dibintangi oleh Dian Sastro, AAdC (Ada Apa dengan Cinta) yang sukses menjadi flim layar lebar paling populer di masa itu.

Berbeda judul, berbeda waktu dan berbeda cerita. Dalam – Ada Apa dengan Gibran – disana mengupas perjalanan waktu seorang anak muda yang bernama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi. Selain mengupas latar pendidikan Mas Wali, juga mengupas perjalanan kariernya, dari pebisnis Kuliner Martabak “Markobar” hingga membuka usaha wedding organizer. Walaupun Putra dari seorang Presiden, Gibran tidak memanfaatkan jabatan dan kekuasaan orang tuanya, dengan cara hidup glamor dan hedon dengan pamer barang-barang mewah. Tidak, itu tidak dijadikan wilayah aji mumpung. Gibran tetap Gibran, dalam hal bersolek, gaya hidup dan lain-lain tetap bernuansa anak muda kebanyakan, bahkan nihil dari kemewahan.

Rupanya bukan hanya dunia bisnis yang di cita-citakan, pada tahun 2020 di masa pandemi Covid sedang mengganas, Gibran ikut serta dalam ajang demokrasi elektoral, Pilkada 2021, berjuang sebagai calon Walikota Surakarta (Solo), yang diusung oleh beberapa Partai Politik, seperti: PDIP, Gerindra, dll. Pada tanggal, 21 Januari 2021 Beliau terpilih dengan suara terbanyak sebagai Walikota Solo.

Kiprah politiknya sebagai Walikota Solo sangat fenomenal, karena sebelumnya beberapa pengamat meragukan kemampuan kepemimpinan Gibran. Dari persoalan usia yang dianggap terlalu muda, hingga tudingan nepotis, atau lebih mengandalkan nama besar Bapaknya. Namun faktanya justru berbeda dari tuduhan-tuduhan itu. Gibran tampil lebih berkarakter dalam bersikap, dia tidak mengandalkan kekuasaan orang tua dalam bertarung dipemilihan Walikota. Jusru dia menampilkan gaya kepenimpinan yang otentik dan lugas. Responsif tapi tidak reaksioner, dengan tampilan santun dan berwibawa. Sehingga melalui kerja kerasnya untuk membangun kota Solo menunjukan hasil yang layak untuk diacungi jempol.

Tiga tahun masa kepemimpinan Gibran di Solo telah menunjukkan hasil kerja nyata, utamanya pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat, 6.25 persen, lebih tinggi dari tahun 2021 yang hanya mencapai 4.01 persen.

Bukan itu saja, Perhatian kepada dunia UMKM memberikan stimulus kuat dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dan menjadi mafhum pertumbuhan ekonomi di Kota Solo telah dirasakan bukan hanya oleh kalangan pengusaha, tapi dinikmati pula oleh rintisan UMKM yang kerap kali diberikan wadah berusaha dan fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh UMKM.

Banyak orang kini mengakui sosok Gibran dengan kemampuan kepemimpinannya. Mas Wali telah diperhitungkan sebagai pemimpin muda yang berkarakter dan unggul. Dianggap sebagai “role model” pemimpin muda berprestasi. Dan yang utama telah merontokan stigma negatif bahwa Gibran tidak mampu bekerja, Gibran numpang beken karena orang tua.

Hasil kerja keras Gibran yang relatif singkat membuat banyak orang terperangah, Kota Solo berubah menjadi kota yang sangat indah dan megah. Bukan hanya itu, barangkali Solo layak menjadi kota percontohan. Selain pembangunan fisik juga dalam hal tatanan sosial dalam konteks kebhinekaan. Betapa tidak, sejak Mas Wali dilantik menjadi Walikota, diterapkan kebijakan dimana perayaan hari raya agama di kota Solo seperti Idul Fitri, Natal, Ngaben, Waisak dan Imlek menjadi hari Raya yang sangat menyenangkan dan menjadi bagian destinasi pariwisata. Setiap menjelang hari raya agama wajah Kota Solo disulap menjadi gemerlap dan anggun, masyarakat pun merasakan suka cita, dari pemeluk agama mayoritas hingga yang minoritas merasa nyaman dan damai, seperti tidak ada sekat antara yang satu dengan yang lain, karena semua perayaan hari raya keagamaan difasilitasi dan mendapat pelayanan yang sama dari Mas Wali (walaupun semangat itu telah dibangun oleh walikota sebelumnya). Langkah tersebut telah membentuk citra bahwa Solo adalah Kota milik semua, utamanya dalam menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dalam bingkai kebhinnekaan. Keren.

Bukan hanya pada hari raya keagamaan yang dibuat sedemikian meriah dan gemerlap, akan tetapi yang tidak kalah menariknya dalam membangun kebhinnekaan, Mas Wali tidak segan turun langsung menyikapi orang orang yang berani merusak ‘tenun’ kebhinnekaan di Kota yang di Pimpinnya. Seperti pada kasus penyegelan rumah Ibadah yang belum lama ini viral, Mas Wali mendatangi lokasi rumah ibadah yang disegel dan mencopot segel itu dan ramai orang menyikapinya, terjadi pro dan kontra, namun dengan sikapnya yang elegan, akhirnya semua selesai dengan damai. Demikian juga aksi-aksi yang bernuansa intoleran lainnya dapat diselesaikan oleh seorang Gibran, Walikota Solo.

Belum genap 5 tahun dalam memimpin Kota Solo, Gibran sudah diperhitungkan di kancah Politik Nasional. Belum lama ini di sebuah lembaga Survei LSI, CNN, 24 Juli 2023 nama Gibran, 7, 2 moncer sebagai pendatang baru sebagai Bakal cawapres di Pilpres 2024. Hal ini mengingatkan kita pada tahun 2020 sebelum menjadi Walikota Solo bermula dari lembaga survei “Unisri Solo”, Gibran masuk jajaran Cawali Solo yang di unggulkan. Dan itu telah terjawab, Gibran terpilih menjadi Walikota Solo dan sukses merubah wajah Solo menjadi kota kebanggaan yang ada di Jawa Tengah.

Terkait dengan bakal cawapres 2024 dimana namanya sudah disejajarkan dengan Sandi, Erick dll tentunya hal ini menjadi daya tarik sendiri, utamanya di kalangan generasi Z dan generasi ‘old’ yang suka pada perubahan dan kemajuan, karena generasi ini adalah generasi yang berpikir pake otak dan iq yang baik. Bukan generasi yang memaki, mengulang sejarah lama lupa dengan tantangan ke depan serta generasi yang tidak mencemooh dan suka berita hoax, tapi generasi yang bisa diajak diskusi serta berwawasan luas, mana yang kerja mana yang pencitraan dan seterusnya.

So, tudingan yang bernada melecehkan kalau generasi Gibran adalah generasi anak ingusan adalah salah besar. Barangkali yang bicara seperti itu lagi lupa pada peradaban baru yang cenderung bergerak sejalan tuntutan zaman. Karena zaman kiwari adalah zaman serba digital, bukan zaman Sempoa ( mesin hitung dari Kayu )

Sehingga atas dasar itu tidak ada yang salah apabila kelak pasal 169 huruf q UU No. 7 tahun 2017, tentang batasan usia bagi Capres dan Cawapres menjadi berubah, bukan lagi dibatasi minimal usia 40 tahun ke atas akan tetapi memberi ruang pada anak anak muda di bawah usia 40 tahun untuk dapat turut serta memimpin Negeri Indonesia Jaya. Tapi dengan catatan; anak muda yang terukur, bukan yang berfantasi dengan kata-kata dan pencitraan.

Maka dari itu, tidak zaman dan bahkan ketinggalan zaman kalau masih mempersoalkan politik Dinasti, hanya lantaran Gibran anak Jokowi maka dipandang tabu untuk duduk di singgasana kekuasaan. Apa yang salah…? Sepanjang itu untuk menjaga marwah bangsa yang ingin maju, karena ‘haqul yakin’ Gibran bukan “anak ingusan” atau “anak Pepo” yang suka berlindung dan sembunyi di ketiak bapaknya. Faktanya, Gibran adalah anak muda yang suka tantangan dan kerja, kerja, kerja, yang berorientasi masa kini dan masa depan.

Barangkal upaya apapun untuk menghambat seorang Gibran adalah bentuk kekerdilan dari para Politisi ‘gaek’ yang hanya berpikir bagaimana mengeruk kekayaan Indonesia untuk kepentingan Kelompoknya (Kroni), bukan pada kemaslahatan bangsa, sedangkan tantangan ke depan adalah mewujudkan kemajuan dan kemaslahatan Indonesia Raya.

Mudah mudahan, kalau dalam kisah “Ada Apa Dengan Cinta”, happy endingnya cinta disatukan. Maka dalam, “Ada Apa dengan Gibran”, harapan Indonesia Emas menjadi kenyataan.

Semoga alam merestui… amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *